Porosmedia.com – Jejak Komunitas Tionghoa Muslim Hanafi dan Lahirnya Kesultanan Cirebon dari Perspektif Non-Arus Utama
Catatan ini berasal dari naskah lampiran dalam buku Tuanku Rao karya Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan, yang terbit pada 1964—delapan tahun sebelum Carita Purwaka Caruban Nagari diterbitkan oleh Drs. Atja. Menurut Parlindungan, dokumen ini bersumber dari arsip pribadi seorang Belanda bernama Poortman, yang mengklaim memperoleh naskah aslinya dari Klenteng Talang di Cirebon.
Meskipun kontroversial dan tidak termasuk dalam narasi sejarah resmi, naskah ini pernah dijadikan rujukan oleh Mr. Slametmuljana dalam karya ilmiahnya mengenai sejarah masuknya Islam di Nusantara. Versi bahasa Indonesianya dilarang beredar di masa Orde Baru, namun tetap beredar dalam versi bahasa Inggris berjudul A Story of Majapahit.
Dua pakar sejarah Belanda, De Graaf dan Pigeaud, awalnya menganggap naskah ini asing dan tak layak dijadikan rujukan. Namun, mereka kemudian mengakui nilai studi historisnya. Sejarawan M.C. Ricklefs pun mencatat bahwa naskah ini membutuhkan kehati-hatian tinggi dalam penafsirannya; menerima seluruh isi dokumen ini tanpa kritik ilmiah adalah sebuah kekeliruan fatal.
Menurut isi naskah, permukiman Tionghoa pertama di wilayah Gunung Jati, Cirebon, muncul sekitar tahun 1415. Dipimpin oleh Laksamana Haji Kung Wu Ping—yang disebut sebagai keturunan Kong Hu Cu—komunitas ini mendirikan menara suar di Gunung Jati, serta tiga kampung Tionghoa Muslim Hanafi: Sembung, Sarindil, dan Talang. Masing-masing memiliki peran strategis, seperti penyediaan kayu jati, perawatan pelabuhan, dan suplai bahan pangan untuk armada Tiongkok Dinasti Ming.
Namun, seiring waktu, hubungan komunitas ini dengan Tiongkok Daratan terputus. Antara tahun 1450–1475, keberadaan komunitas Tionghoa Hanafi mulai surut. Masjid di Sarindil berubah menjadi pertapaan, masjid di Talang berubah menjadi klenteng, sementara hanya Sembung yang tetap mempertahankan tradisi Islam madzhab Hanafi dalam bahasa Tionghoa.
Pada 1526, armada Kesultanan Demak singgah di Pelabuhan Talang. Bersama armada itu ikut serta seorang peranakan Tionghoa bernama Kin San dan panglima besar Fatahillah. Mereka mendatangi pertapaan Sarindil dan bertemu dengan Haji Tan Eng Hoat, pemuka agama Islam Hanafi di Sembung.
Dengan restu Sultan Demak, Fatahillah memberikan gelar “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi” kepada Tan Eng Hoat, yang kemudian dibakukan menjadi “Maulana Ifdil Hanafi”. Ia diizinkan tetap menjalankan Islam Hanafi dalam bahasa Tionghoa dan tidak diwajibkan berpindah ke madzhab Syafi’i.
Pada 1552, Fatahillah kembali ke Sembung tanpa pasukan. Setelah kecewa dengan konflik berdarah di Kesultanan Demak dan menolak tunduk pada Pajang yang bercorak Syiah, ia memutuskan menetap dan mendirikan Kesultanan Cirebon. Permintaan untuk mendirikan kerajaan datang dari Haji Tan Eng Hoat, yang khawatir akan eksistensi Islam Hanafi di bawah tekanan politik dari luar.
Dengan dukungan masyarakat Islam Tionghoa di Sembung, berdirilah Kesultanan Cirebon dengan pusat pemerintahan di lokasi Keraton Kesepuhan kini. Sembung menjadi pekuburan Islam, sementara para penduduknya hijrah dan mengindonesiakan nama-nama mereka.
Pada 1553, Sultan Cirebon yang sudah sepuh menikahi putri dari Tan Eng Hoat, yang dikawal sepupunya, Tan Sam Cai, dalam arak-arakan yang meniru kebesaran istana Dinasti Ming.
Tan Eng Hoat, alias Maulana Ifdil Hanafi, menjadi Raja Muda Kesultanan Cirebon dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya, dan berjasa besar dalam menyebarkan Islam madzhab Syafi’i ke pedalaman Priangan Timur.
Ia wafat dalam ekspedisi militer ke Galuh pada 1564 dan dimakamkan di sebuah pulau di tengah danau di wilayah tersebut.
Tan Sam Cai, sepupu sang putri, kemudian berkiprah sebagai Tumenggung Aria Dipa Wiracula, Menteri Keuangan Kesultanan. Meski masih setia kepada tradisi Tionghoa, ia memainkan peran penting dalam memperkuat ekonomi Cirebon, termasuk mendirikan harem di Sunyaragi, yang konon menyimpan “ratusan gula-gula kaki dua”.
Setelah wafatnya Sultan Cirebon pertama pada 1570, Tan Sam Cai menjadi penguasa de facto. Namun, ia ditentang oleh Haji Kung Sem Pak (Muhammad Nurjani), keturunan Kung Wu Ping. Tan Sam Cai wafat akibat racun pada 1585, dan jenazahnya ditolak dikuburkan di Sembung oleh Nurjani. Ia akhirnya dimakamkan secara Islam di pekarangan rumahnya sendiri, namun juga diberi penghormatan secara Tionghoa di Klenteng Talang sebagai Sam Cai Kong, tokoh suci yang dianggap bisa mengabulkan doa.
-Catatan:
Catatan dari Klenteng Talang ini adalah bagian dari sejarah alternatif yang memuat narasi lokal serta etno-religius minoritas. Sejarah resmi tidak selalu memuat kompleksitas seperti ini. Oleh karena itu, naskah ini tidak dapat dijadikan rujukan tunggal, namun penting sebagai sudut pandang lain dalam memahami sejarah lahirnya Kesultanan Cirebon dan keterlibatan komunitas Tionghoa Muslim di Nusantara.