Porosmedia.com, Bandung – Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Bandung, Aryatri Muhammad Farhan, menyampaikan kritik tajam terhadap sistem kurasi produk UMKM yang selama ini dianggap kurang transparan dan eksklusif. Dalam Musyawarah Daerah (Musda) Dekranasda Kota Bandung Tahun 2025 yang digelar di Dapur Hawu The Lodge Maribaya, Lembang, Selasa (10/6/2025), Aryatri menekankan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem seleksi dan promosi produk UMKM.
“Dekranasda itu bukan sekadar etalase UMKM, tapi harus jadi level lanjutan yang mengedepankan kualitas, keterbukaan, dan keadilan akses,” tegas Aryatri.
Kritik terhadap Sistem Kurasi: “Empat Orang Kurasi 600 Produk, Ini Tidak Masuk Akal”
Hingga saat ini, tercatat sekitar 600 UMKM telah lolos kurasi Dekranasda dari total 800 yang mendaftar. Namun, Aryatri mengakui, proses kurasi yang hanya dilakukan oleh empat orang bukan hanya tidak ideal, tapi juga membuka ruang persepsi negatif di masyarakat.
“Mengkurasi 600 produk hanya oleh empat orang jelas tidak ideal. Ini bukan hanya soal teknis, tapi soal kepercayaan publik terhadap sistem kita,” ujarnya.
Ia mengkritisi anggapan miring bahwa hanya “orang dalam” yang bisa lolos seleksi, serta minimnya rotasi produk yang membuat Dekranasda terkesan tertutup dan elitis.
“Kita enggak mau lagi ada kesan Dekranasda hanya milik segelintir pelaku lama. Kita harus buka jalur resmi dan transparan bagi semua yang layak,” tandasnya.
Aryatri menyerukan agar semua pihak, baik komunitas, lembaga, maupun individu, aktif merekomendasikan produk unggulan UMKM lainnya untuk masuk ke sistem kurasi resmi. Ia menyebut kolaborasi sebagai kunci untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil dan meritokratis.
Menyoal efisiensi anggaran, Aryatri menantang kebiasaan lama yang sering menjadikan promosi produk sebagai alasan untuk perjalanan luar kota atau luar negeri.
“Kenapa kita enggak bawa pembeli dan wisatawan ke Bandung? Supaya mereka beli langsung di sini. Kita butuh perputaran ekonomi lokal yang nyata, bukan sekadar promosi simbolik,” katanya.
Ia mencontohkan model event tahunan di Bali yang efektif karena pasar dan targetnya jelas. Namun, ia menekankan pentingnya evaluasi terhadap efektivitas kegiatan serupa yang dilakukan Dekranasda Bandung.
Sebagai solusi keterbatasan ruang dan eksposur, Aryatri mengusulkan pola kerja sama lintas sektor, seperti yang telah dilakukan bersama Uniqlo. Enam produk kriya Bandung dipajang dengan sistem barcode yang langsung terhubung ke penjualan daring.
“Display tidak harus di toko tetap. Dunia berubah, sistem kita pun harus adaptif,” ucapnya.
Secara khusus, Aryatri menyoroti pentingnya menjadikan karya penyandang disabilitas sebagai produk unggulan karena kualitas, bukan karena belas kasihan. Ia mencontohkan pelatihan menjahit oleh Disnaker dan produk seni penyandang autisme yang telah dikembangkan menjadi barang layak jual seperti tumbler dan pouch.
“Produk disabilitas harus dilihat karena mereka memang punya kemampuan. Kita angkat bukan untuk memenuhi kuota, tapi karena mereka memang layak,” tegasnya.
Dengan semangat evaluasi dan kolaborasi, Aryatri menegaskan bahwa Dekranasda harus berhenti menjadi ruang eksklusif yang menutup akses bagi pelaku baru.
“Kita tidak kekurangan pengusaha kreatif di Bandung. Yang kita butuhkan adalah sistem yang mendukung tumbuhnya semua, bukan sekadar mempertahankan yang sudah mapan,” pungkasnya.
Musda Dekranasda tahun ini bukan sekadar forum seremonial, tapi harus menjadi titik balik pembenahan sistemik dalam pengembangan UMKM Kota Bandung. Aryatri mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik dari sektor publik maupun swasta, untuk terlibat aktif membangun sistem UMKM yang inklusif, transparan, dan berkeadilan.