Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Kota Bandung dan DPRD Kota Bandung melalui Komisi A mencari solusi pembangunan Gereja Santo Antonius di kawasan Kel. Cipamokolan, Kec. Rancasari, Kota Bandung untuk terus diupayakan tanpa ada dugaan merugikan seluruh masyarakat.
Sebelumnya Prof. Dr. Anton Minardi, S.I.P., S.H., M.Ag sekilas memberikan keterangan sebagai kuasa hukum masyarakat yang diduga keberatan atas pembangunan Gereja tersebut.
Menurutnya warga RW 01, Kel. Cipamokolan, Kec. Rancasari, Kota Bandung tidak kurang dari 600 orang ditambah warga RW 02-12 Cipamokolan mempercayakan penolakan gereja kepada MUI dan LPM.
Dari dugaan sikap penolakan tersebut pihak panitia pembangunan Gereja terkesan mengabaikan dua lembaga tersebut. Sehingga, Kata Kang Anton dari akademisi Universitas Pasundan Kota Bandung, ada keputusan rapat Kesbangpol tanggal 9 Februari 2022 yang dianggap tidak ada penolakan. Kemudian pada tanggal 13 Desember 2023 ada pelaksanaan peletakan batu pertama pembangunan Gereja Santo Antonius di Cipamokolan.
Karena itu, lanjut Kang Anton Majelis Ulama Indonesia atau MUI Kel. Cipamokolan melakukan undangan kepada panitia pembangunan Gereja Santo Antonius dengan para masyarakat dan para tokoh. Sayangnya pihak Gereja tidak menghadiri undangan tanpa alasan.
Masih kata Kang Anton, akibatnya saat dipertemukan dengan Komisi A DPRD Kota Bandung pada tanggal 24 Desember 2014 pihak panitia diduga merasa tidak perlu ada komunikasi dengan pihak MUI dan LPM Kel. Cipamokolan yang bukan ranahnya, terang Prof. Dr. Anton Minardi, S.I.P., S.H., M.Ag

Kini dari berbagai laporan dan keluhan yang diterima Komisi A DPRD Kota Bandung yang diwakilkan oleh Erick Darmadjaya, B Sc. M.K.P menjelaskan bahwa tuntutan masyarakat adalah memohon agar DPRD dan Dinas terkait menyampaikan kepada Walikota untuk mencabut izin yang telah diterbitkan di bulan September 2023.
Alasan mereka, kata anggota dewan yang lahir 23 Mei 1976 adalah terbitnya IMB yang diduga menyalahi prosedur, proses terbitnya IMB terkesan tertutup, diduga adanya pemalsuan tanda tangan dan dugaan praktek gratifikasi terhadap aparat serta pembagian sembako bagi warga sekitar Gereja.
“Itulah alasan mereka. Dan menolak keras pembangunan Gereja Santo Antonius yang sekarang sudah dibangun,” ujar Kang Erick.
Dari sisi lain, Kang Erick politisi Partai Solidaritas Indonesia Kota Bandung juga menanggapi keterangan dari dinas terkait yang berhubungan dengan pembangunan Gereja menyampaikan kepada DPRD Kota Bandung sudah sesuai dan melalui langkah prosedur.
Kang Erick menilai tidak ada dinas, Ormas dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menyalahkan terbitnya IMB.
Maka dari itu, Dinas terkait maupun DPRD Kota Bandung mempunyai sikap yang sama bahwa kebijakan yang telah diambil tidak dapat mereka batalkan.
Itu bukan kewenangan pemerintah kota Bandung dan DPRD Kota Bandung. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang bisa menyimpulkan dugaan masyarakat yang berkeberatan.
Selanjutnya Erick yang dipilih di Dapil 1 : Coblong, Cidadap, Bandung Wetan, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul, Sumur Bandung menambahkan tentang pertemuan ke 2 bersama Komisi A bahwa perubahan fungsi gedung serba guna menjadi bagian Gereja St. Audelia.
Saat itu, peserta rapat yang hadir yaitu masyarakat yang tinggal disekitar gedung tersebut, FKUB, Kantor Agama Kota Bandung, Lurah, Camat, Satpol PP dan tim pengacara dari pihak gereja St. Audelia.
Keberatan warga didasarkan pada alasan bahwa pertama lahan dan bangunan merupakan fasilitas umum yang diberikan developer Arcamanik Endah. Kedua Bertahun tahun gedung tersebut dipakai warga untuk berbagai kegiatan. tetapi kemudian setelah covit tidak dapat dipakai warga, bahkan telah berubah fungsi menjadi bagian gereja.
Ketiga dengan dipakainya Gedung serba guna sebagai gereja menimbulkan kemacetan dan kebisingan, empat, terjadi pemalsuan tanda tangan. Kelima, beberapa warga telah mencabut dukungan.
Atas tuntutan Warga ini perwakilan dari gereja St Audilia menegaskan bahwa tanah dan bangunan tersebut bukan fasilitas umum tetapi milik Gereja.
Disamping itu, bahwa sejak covit Gedung Serba Guna tidak pernah ada permohonan pemakaian gedung oleh warga. Muncullah tanggapan dari Camat bahwa pihak Gereja terkesan tertutup dan tidak mau berkomunikasi dengan pihak kecamatan, padahal memiliki tugas dan tanggung jawab menjaga kondusifitas, ketertiban dan hubungan masyarakat. Ketertutupan ini sangat disesalkannya pihak Camat.
Sementara itu, lanjut Erick Kantor Departemen Agama menerangkan bila ada tuntutan kebutuhan perluasan tempat ibadah semestinya perubahan fungsi gedung serba guna dilaporkan dan diperbaiki perizinannya.
Daripada itu, Erick menegaskann sebagai umat saya setuju pandangan semua yang memiliki haknya. Namun dalam proses pengurusan perubahan tersebut perlu dikemukan alasan rasional dan objektif. misal karena umat semakin besar jumlahnya dan bangunan gereja yang ada, tidak mampu menampung umat, ini kebutuhan riel, tegas Kang Erick.