Aksi Gabungan Sopir Bandung Barat: Seruan Mogok Operasi dan Tuntutan Keadilan Transportasi

Avatar photo

Porosmedia.com, Kab. Bandung Barat – Gejolak baru muncul dari sektor transportasi logistik di Jawa Barat. Gabungan Sopir Bandung Barat secara resmi mengeluarkan seruan mogok operasi per 17 Juni 2025, serta rencana aksi turun ke jalan secara serempak pada tanggal 19-21 Juni 2025. Aksi ini digalang oleh para sopir angkutan sayuran, komunitas ekspedisi logistik, hingga bandar dan petani di wilayah Bandung Barat, sebagai bentuk protes atas ketidakadilan sistemik yang mereka alami selama bertahun-tahun.

Dalam selebaran resmi yang diterima redaksi Porosmedia, himbauan tersebut memuat lima tuntutan utama:

1. Menghentikan operasi ODOL (Over Dimension Over Load) yang dianggap merugikan sopir resmi dan menciptakan iklim persaingan tidak sehat.

2. Regulasi ongkos angkutan logistik yang dinilai belum berpihak kepada sopir dan pemilik armada kecil-menengah.

3. Revisi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) No. 22 Tahun 2009, yang dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi lapangan saat ini.

4. Pemberantasan praktik premanisme dan pungutan liar (pungli) di titik-titik pengumpulan dan distribusi logistik, termasuk pasar dan terminal bayangan.

Baca juga:  KKP Apresiasi Polda Lampung Ungkap Penyelundupan Baby Lobster

5. Kesetaraan perlakuan hukum, khususnya bagi sopir dan pelaku usaha logistik rakyat kecil yang kerap merasa dikriminalisasi atau dijadikan kambing hitam dalam insiden kecelakaan.

Hasil investigasi ke sejumlah titik distribusi logistik di kawasan Padalarang, Lembang, dan Cililin menunjukkan bahwa para sopir kecil memang menghadapi tekanan ganda. Di satu sisi, mereka diburu target distribusi dari pemilik barang, namun di sisi lain juga harus berhadapan dengan pos-pos pungutan liar dan preman berseragam maupun tidak berseragam.

Menurut Ayi Sudrajat, salah satu penanggung jawab aksi dan sopir angkutan logistik sayur lintas kota, praktik semacam ini telah berlangsung puluhan tahun.

“Kami ini tulang punggung distribusi pangan, tapi malah diperas di setiap sudut jalan. Ada yang resmi pakai atribut, ada juga yang cuma ngaku-ngaku. Bayar uang keamanan, uang lintasan, sampai uang parkir fiktif. Terus kami ini mau makan dari mana?” tegas Ayi, saat dihubungi lewat selular, Senin (17/6/2025)

Gabungan Sopir Bandung Barat (GSBB) menyatakan bahwa per 17 Juni 2025 seluruh komunitas sopir dan ekspedisi yang tergabung dalam jaringan mereka akan menghentikan seluruh aktivitas pengambilan dan pengiriman barang.

Baca juga:  Strategis Posisi Jabar di Zaman Kiwari?Refleksi Akhir tahun 2024: Gubernur Baru = Target Baru

Tidak hanya di Kabupaten Bandung Barat, aksi ini mendapat dukungan moral dari komunitas sopir logistik di Cianjur, Garut, dan Subang. Sejumlah komunitas yang tergabung dalam Aliansi Pengemudi Independen Jawa Barat (API-Jabar) juga disebut akan bergabung dalam aksi turun ke jalan serempak pada 19-21 Juni.

“Ini bukan sekadar mogok, ini bentuk perlawanan. Sopir bukan budak sistem, kami adalah aktor penting dalam rantai pasok pangan,” ungkap Budi Raisa, sopir ekspedisi lintas provinsi dan juga penanggung jawab aksi.

Isu premanisme dalam sektor transportasi memang bukan barang baru. Penelitian yang dirilis oleh Institut Studi Pekerja Jalanan (ISPeJ) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 62% sopir truk di Jawa Barat pernah mengalami pemalakan di jalan, baik oleh oknum aparat, ormas, maupun warga sipil liar.

Selain itu, pasal-pasal dalam UU LLAJ No. 22 Tahun 2009 dinilai sudah tidak relevan dengan praktik logistik modern. Ketentuan terkait klasifikasi kendaraan niaga, sanksi kecelakaan, serta izin trayek dianggap lebih menguntungkan korporasi besar ketimbang pelaku kecil dan menengah.

Baca juga:  Pj Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin Resmi Lantik Pj Wali Kota Cimahi Dicky Saromi.

Dr. Hanafiah Zaini, pengamat transportasi dari Universitas Parahyangan, menilai aksi ini sebagai bentuk koreksi sosial terhadap tata kelola logistik nasional yang timpang.

“Para sopir rakyat bukan hanya menuntut perut, tapi keadilan struktural. Negara tidak boleh abai. Mereka memikul beban distribusi pangan namun justru jadi korban struktur yang menyimpang,” ujar Hanafiah.

Aksi ini sudah mendapat perhatian dari berbagai pihak. Menurut informasi yang dihimpun, surat tembusan sudah dikirimkan ke Polsek Padalarang dan Dinas Perhubungan Bandung Barat. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari aparat maupun pemerintah daerah terkait respons terhadap tuntutan sopir.

Gabungan Sopir Bandung Barat berharap dialog terbuka bisa segera dilakukan, dengan melibatkan unsur pemerintah, kepolisian, akademisi, dan komunitas sopir itu sendiri.