Memulihkan Ruang Aman: Saatnya Daerah dan Masyarakat Sipil Mengakhiri Normalisasi Kekerasan terhadap Perempuan

Avatar photo

Porosmedia.com – Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia bukan lagi sekadar persoalan kasus individual. Ia telah menjelma menjadi persoalan struktural yang bertahan puluhan tahun, hadir dalam wajah baru, dan terus memperlihatkan betapa rapuhnya ruang aman di negeri ini. Data yang ditunjukkan Komnas Perempuan melalui Catahu 2024 seharusnya sudah cukup menjadi peringatan keras: 330.097 kasus kekerasan berbasis gender tercatat dalam satu tahun—angka yang melonjak 14,17% dan mengindikasikan dua hal sekaligus:
(1) kekerasan terhadap perempuan tidak pernah benar-benar surut, dan
(2) pelaporan dan pendataan kita mulai mampu menangkap realitas yang selama ini tersembunyi.

Jawa Barat, sebagai wilayah dengan populasi besar dan kompleksitas sosial tinggi, kembali memuncaki angka kekerasan tertinggi: 55.660 kasus. Dominasi kasus terjadi di ranah personal, tetapi penting dicatat bahwa kekerasan di ranah publik dan bahkan ranah negara tetap saja muncul—sebuah ironi di tengah maraknya jargon pelayanan publik yang “ramah perempuan”.

Kita harus mengakui satu hal yang pahit namun penting: ruang publik, ruang digital, hingga layanan negara masih gagal menjamin keselamatan perempuan. Kasus-kasus yang viral dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari dugaan kekerasan seksual di fasilitas kesehatan, pelecehan di transportasi, hingga serangan digital berbasis gender—menunjukkan bahwa ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi medan baru bagi kekerasan.

Baca juga:  Hadiri Rapat Koordinasi, Kasad Siap Dukung Penuh Program Swasembada Pangan

Persoalannya bukan hanya keberadaan pelaku. Persoalannya adalah sistem—dari regulasi daerah yang belum kokoh, koordinasi lintas OPD yang lemah, hingga layanan pendampingan korban yang sering kali tidak responsif dan tidak berperspektif korban.

Tiga tahun setelah hadirnya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), muncul pertanyaan yang tak boleh lagi ditunda:
Seberapa jauh undang-undang ini benar-benar hidup di tingkat daerah?
Apakah regulasi turunan berjalan?
Apakah layanan pendukung korban dapat diakses tanpa hambatan?
Ataukah UU TPKS justru berhenti sebagai aspirasi moral yang tidak cukup menyentuh praktik birokrasi?

Inilah konteks penting dari penyelenggaraan Konsolidasi Masyarakat Sipil dan Pemerintah Daerah, bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025 yang mengusung tema nasional: “Kita Punya Andil, Kembalikan Ruang Aman.”

Tema itu bukan slogan. Ia adalah peringatan keras: ruang aman tidak akan pernah lahir tanpa keberanian politik, tanpa kapasitas layanan yang memadai, dan tanpa kolaborasi antarsektor.

Komnas Perempuan—dengan dukungan UNFPA dan Pemerintah Kanada melalui Program BERANI II—berupaya mempertemukan berbagai aktor: pemerintah daerah, perangkat layanan, organisasi masyarakat sipil, media, komunitas kreatif, hingga publik luas. Pertemuan semacam ini bukan seremonial. Ia adalah kerja strategis untuk membongkar hambatan yang selama ini tersembunyi di balik meja birokrasi.

Baca juga:  Lurah Sukamaju Ajak Warga Gelar Jumsih Serentak, sesuai Surat Edaran Walikota dan Gubernur

Kolaborasi ini penting karena masing-masing pihak memegang peran berbeda yang saling menguatkan:

Pemerintah daerah memegang kewajiban hukum untuk menyediakan layanan aman, responsif, dan terkoordinasi.

OMS menjadi ujung tombak pendampingan korban, literasi publik, dan pengawasan kebijakan.

Media berperan mengubah narasi publik, menolak pemberitaan yang menyalahkan korban, dan mendorong akuntabilitas.

Komunitas dan publik memastikan bahwa bahasa, budaya, dan kebiasaan sosial tidak lagi memaklumi kekerasan.

Dalam konteks itu, konsolidasi ini diarahkan untuk menghasilkan empat langkah strategis:
(1) memotret situasi aktual kekerasan terhadap perempuan,
(2) menyamakan perspektif berbasis korban antara pemerintah dan OMS,
(3) mengurai hambatan regulatif dan struktural di tingkat daerah, dan
(4) menyusun rencana tindak lanjut aksi bersama yang bukan hanya wacana, tetapi dapat dieksekusi.

Jika ruang aman ingin benar-benar kembali, maka tidak cukup hanya menggantungkan harapan pada satu pihak. Negara harus hadir, masyarakat sipil harus bersuara, publik harus terlibat. Kita tidak bisa membiarkan perempuan terus berjalan dalam ketakutan di ruang publik yang seharusnya menjadi hak mereka sepenuhnya.

Baca juga:  Sejarah Berdirinya Buntet Pesantren Astana Japura Cirebon

Momen konsolidasi ini adalah titik tolak. Ruang aman tidak lahir dari kebetulan—ia dibangun melalui keputusan politik, keberanian moral, dan kerja kolektif yang tidak pernah berhenti.

Kita semua punya andil. Kini saatnya memastikan ruang aman benar-benar kembali.