Zulhas dan Sekarung Beras Penebus Dosa

Avatar photo

Porosmedia.com – Bangsa ini khususnya warga Sumatera dihina oleh Zulkifli Hasan (Zulhas) Prolog sejarah selalu punya panggungnya sendiri, dan kali ini panggung itu adalah lokasi banjir di Kota Padang Sumatra.

Di tengah lumpur, reruntuhan rumah, dan tatapan kosong para pengungsi, Menko Pangan Zulkifly Hasan (Zulhas) berdiri memikul sekarung beras 10 kilogram seolah sedang memikul seluruh duka rakyat.

Kamera menyorot, ponsel merekam, drone melayang, dan publik disuguhi citra kepedulian yang heroik. Tubuhnya sedikit membungkuk, namun wajahnya tetap tersenyum, seolah kehadirannya adalah jawaban atas bencana. Suara netizen memecah adegan penuh drama itu :

“Lah, ini kan gara-gara loe dulu !” Bencana itu memang air, tapi kritik datang seperti badai yang tidak mau berhenti.

Semua orang tampaknya tahu sejarah yang tak mau hilang: sebelum menjadi Menko Pangan, Zulhas pernah menjadi Menteri Kehutanan 2009 – 2014, era ketika izin perkebunan Sawit di Sumatra mengalir deras.

Hutan yang dulu menjadi penyangga ekologis berubah menjadi hamparan monokultur yang rapi bagi korporasi besar. Yang dulu pepohonan tinggi menjaga resapan air kini berganti dengan parit-parit drainase perkebunan.

Ekosistem rusak, daya dukung tanah hilang, dan banjir menjadi tamu tahunan yang makin brutal. Saat itu keputusan terasa “pro-investasi”, kini dampaknya terasa “pro-bencana”. Jejak pena dan stempel kebijakan itu kini berdiri di hadapannya, dalam bentuk genangan setinggi dada warga.

Sekarung beras 10 kilogram tampak seperti hadiah kecil untuk mengganti kerusakan sebesar satu pulau. Beratnya tidak sebanding dengan berat jutaan pohon yang ditebang atas nama pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:  LSM Gebrak Soroti Dugaan Penyalahgunaan Wewenang Direksi Perumda Pasar Juara

Sumbangan di depan kamera menjadi wujud paling klasik dari “politik kesalehan dadakan”. Publik tidak bodoh lagi, mereka hafal pola :

Ada bencana, datang pejabat, bagi sembako, tersenyum ke kamera. Yang dulu dianggap bantuan, kini dianggap gimmick. Ketika kepercayaan rakyat hilang, bahkan sekarung beras terasa seperti ejekan dan hinaan.

Dampak ekologis dari hilangnya tutupan hutan bukan hanya banjir sesaat, tetapi lingkaran derita yang panjang. Tanah menjadi labil, sungai menyempit, satwa liar kehilangan rumah, dan desa-desa berubah menjadi kolam raksasa setiap musim hujan.

Para ilmuwan lingkungan telah memperingatkan bertahun-tahun, namun peringatan kalah oleh derasnya investasi. Saat banjir datang, bukan hanya rumah yang hanyut, masa depan juga ikut tergerus. Kini bencana tidak lagi dilihat sebagai “cobaan alam”, tetapi sebagai “tagihan dari kebijakan”. Dan tagihan kali ini sampai tepat di kerasnya tanah Sumatra.

Di tengah lokasi bencana, Zulhas terlihat berkeringat membawa beras di bahunya. Keringat itu bukan keringat peluh kerja, tapi keringat akibat tatapan masyarakat yang sulit ditenangkan oleh retorika.

Kamera mungkin merekam citra penyelamat, tetapi ingatan rakyat merekam pembuat masalah. Mereka yang hidupnya hancur karena banjir tidak sedang mencari aktor film dokumenter kemanusiaan. Mereka sedang menuntut keadilan ekologis yang tidak pernah diberikan.

Bantuan sembako hanya menambal perut, bukan memperbaiki bumi.

Ada ironi besar :
Orang yang berperan dalam pembabatan alam, kini menjadi pemerhati korban bencana alam. Seolah pelaku kriminal tiba-tiba menjadi anggota tim penyelamat.

Narasi penebusan tampil dalam paket lengkap : Rompi, kamera, senyuman, dan karung beras. Tetapi bumi tidak menerima skrip melodrama politik. Ekologi hanya mengenal hukum sebab-akibat, bukan hukum pencitraan.

Baca juga:  TPU Terpadu Cibiru Diresmikan: Farhan Tegaskan Layanan Gratis dan Perang terhadap Pungli Pemakaman

Selama akar masalah tidak disentuh, banjir akan tetap datang bahkan tanpa hujan—karena alam tidak percaya pada permintaan maaf di depan camera.

Andai keadilan ekologis dapat ditebus dengan logistik, mungkin bumi sudah lama sembuh. Sayangnya, kerusakan memerlukan pemulihan struktural, bukan pertunjukan filantropi sesaat.

Yang dibutuhkan bukan kunjungan pejabat, tetapi restorasi hutan dan keberanian menolak oligarki perkebunan. Yang dibutuhkan bukan sekarung beras, tetapi revisi kebijakan yang menempatkan alam sebagai subjek, bukan objek eksploitasi. Namun itu terlalu mahal untuk politik kekuasaan. Lebih murah membawa beras dan memikulnya sebentar di depan camera.

Barangkali Zulhas percaya bahwa publik akan melupakan masa lalu seiring air banjir surut. Namun di era digital, memori sosial tidak pernah tenggelam, ia mengapung seperti serpihan puing di sungai.

Netizen adalah saksi yang tidak mudah dibungkam, mereka mengingat bagaimana bencana ini dirancang jauh sebelum hujan turun. Mereka tahu banjir bukan kebetulan, tapi produk kebijakan. Di balik senyuman pejabat, mereka melihat perhitungan elektoral. Di balik aksi sosial, mereka melihat sisa dosa politik.

Banjir akan surut, kamera akan pergi, pemberitaan akan reda, dan rombongan pejabat akan pulang. Tetapi rakyat akan kembali ke rumah yang runtuh, sawah yang hancur, dan trauma yang tidak akan pernah dipikul oleh siapa pun di punggungnya.

Di antara lumpur dan puing itu, sekarung beras akan habis dalam hitungan hari, tetapi dampak kebijakan akan bertahan selama puluhan tahun.

Baca juga:  Perang Narkoba Prabowo: Antara Ketegasan Politik dan Krisis Implementasi

Zulhas mungkin merasa telah menjalankan kewajiban moralnya, tetapi alam tidak mengenal konsep basa-basi. Pada akhirnya, sejarah akan bertanya :

Siapa sebetulnya yang menjadi korban, dan siapa yang menebus dosa, rakyat atau para penguasa ?

Rakyat tidak menunggu beras, rakyat menunggu kapan Zulhas di adili ?

Menteri kehutanan era SBY yaitu zulhas.
Siapa yang tidak kenal Zulhas atau zulkifli Hasan, Yang membuat kontroversial adalah pelepasan hutan hampir menyentuh 2 juta Hektar lahan hutan.

Kontroversi Izin Hutan :
Menilik Jejak Zulhas di Sumatera
Sorotan Publik atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan 2009-2014

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Zulkifli Hasan (Zulhas) selama menjabat sebagai Menteri Kehutanan (Menhut) pada periode 2009 hingga 2014 di Kabinet Indonesia Bersatu II terus menjadi subjek kontroversi, terutama terkait pemberian izin pembalakan dan pelepasan kawasan hutan di pulau Sumatera.

Kasus Riau dan Panggilan KPK menguap bagaikan embun :

Jejak kebijakan Zulhas kian mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan terhadapnya sebagai saksi pada tahun 2014. Pemeriksaan tersebut terkait dugaan suap revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau yang menjerat mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, dan korporasi.

Kasus ini berpusat pada penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) nomor 673/2014, mengenai Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan di wilayah Riau.

Rakyat nenunggu Zulhas di adili !

 

Singky Soewadji| Porosmedia