GREEN DEMOCRACY: Mengapa Lingkungan Sosial Sama Pentingnya dengan Lingkungan Alam — dan Peran Kritis DPD RI dalam Menampung Aspirasi Publik

Avatar photo

Oleh : Tody Ardiansyah Prabu, S.H Dewan Redaksi Poros Media

Porosmedia.com – Demokrasi yang kita butuhkan adalah demokrasi yang sejuk, selaras dengan pelestarian lingkungan. Melalui Green Democracy, kita bisa memperkuat sistem demokrasi, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kualitas lingkungan sosial termasuk SDM unggul untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

Konsep Green Democracy yang di gagas oleh Ketua DPD RI H. Sultan Baktiar Najamudin, S.Sos., M.Si. penulis Tody Ardiansyah Prabu, S.H menambahkan agar sempurna dalam konsep tersebut harus memiliki operasionalisasi yang aplikabel.

Layaknya demokrasi yang kita butuhkan, saat ini adalah: Artikulasi Kepentingan (Interest Articulation : menampung aspirasi rakyat. Tujuan: Untuk memastikan suara rakyat didengar dan dimasukkan ke dalam wacana politik.

Contoh: Warga negara menulis surat kepada wakil rakyat. Kelompok masyarakat sipil melakukan demonstrasi damai. Partai politik melakukan kampanye untuk menyuarakan isu tertentu. Penggunaan media sosial untuk menggalang dukungan terhadap suatu masalah.

Agregasi Kepentingan (Interest Aggregation) : Mengumpulkan/Memadatkan aspirasi. Aspirasi tersebut diklasifikasikan dipilih, dipilah, lebih relevan dalam memecahkan masalah.

Tujuannya, untuk mengubah tuntutan yang spesifik menjadi kebijakan publik yang dapat diterapkan dan diterima oleh sebagian besar masyarakat, sekaligus mengelola konflik kepentingan.

Aktor Utama: Partai politik sering kali menjadi aktor utama dalam agregasi kepentingan, karena mereka harus menyusun platform yang menarik bagi berbagai kelompok pemilih.
Contoh: Partai politik menyusun program kerja berdasarkan berbagai masukan dari konstituen.
Badan legislatif (DPR/DPRD) membahas RUU, menyeimbangkan berbagai kepentingan sebelum mengambil keputusan. Pemerintah merancang APBN, memprioritaskan alokasi dana untuk berbagai sektor.

Kesimpulan dari Keduanya yakni
demokrasi yang kita butuhkan adalah sebuah sistem di mana artikulasi (penyampaian aspirasi) berjalan bebas dan terbuka, dan diikuti oleh proses agregasi yang efektif dan adil untuk menghasilkan kebijakan publik yang benar-benar relevan dan solutif bagi masalah bangsa. Kedua proses ini memastikan bahwa pemerintahan berjalan secara representatif dan responsif.

Artinya jangan sampai green democrazy menjadi limbah Demokrasi.

Partisipasi jangan menjadi bencana buat manusia tapi anugerah untuk manusia
Jangan menciptakan kebijakan masalah baru tapi ciptakan kebijakan yang bermanfaat untuk banyak orang.

Jika ada publk policy tidak akan dapat menyenangkan semua orang tapi harus bermanfaat sebanyak orang.

Didalam demokrasi harus ada yang berbeda pendapat sebagai masukan kritik, dengan ada kritik kekuasaan itu mesti diperbaharui secara baik.

Integrasi dengan komponen lingkungan
konsep Green Democracy mengintegrasikan komponen Biotis dan Abiotis ke dalam kerangka politik yang saling mempengaruhi :

Komponen Biotis: Lingkungan alam yang hidup (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) dihargai sebagai bagian integral dari ekosistem yang harus dilindungi. Kebijakan Green Democracy bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologisnya.

Baca juga:  Bawaslu ; Menyambut Pemilu, Perlu Edukasi Politik Bagi Masyarakat Kota Bandung

Komponen Abiotis: Lingkungan fisik tak hidup (tanah, air, udara, iklim) diakui sebagai fondasi pendukung kehidupan. Pengelolaan komponen-komponen ini, seperti memastikan kualitas air bersih dan udara, menjadi prioritas dalam tata kelola lingkungan yang demokratis.

Secara ringkas, Green Democracy berupaya agar pengambilan keputusan politik menghormati dan memprioritaskan kesehatan dan keseimbangan komponen biotis dan abiotis lingkungan

Lingkungan Alam: Komponen Biotik dan Abiotik yang Membentuk Ruang Hidup

Keduanya membentuk sistem ekologis yang menentukan kualitas hidup masyarakat. Kerusakan salah satunya berdampak langsung pada sosial: konflik air, kemiskinan ekologis, banjir, polusi, hingga migrasi lingkungan.

Ketika kita berbicara tentang Green Democracy, publik sering terpaku pada gambaran hutan, sungai, udara bersih, dan tata ruang. Padahal, demokrasi hijau tidak hanya menyangkut lingkungan alam, tetapi juga lingkungan sosial. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tanpa harmoni di antara keduanya, demokrasi tidak hanya cacat—ia dapat berubah menjadi pemicu ledakan sosial.

Karena itu Green Democracy tidak bisa hanya dilihat sebagai proyek penghijauan, tetapi sebagai tata kelola ekologis yang mempengaruhi fondasi kesejahteraan sosial.

Lingkungan Sosial: Ruang Relasi, Konflik, dan Aspirasi Publik

Lingkungan sosial meliputi: komunitas, budaya, nilai, norma, organisasi sosial, praktik politik, relasi kekuasaan, ketimpangan.

Inilah ruang yang menentukan apakah demokrasi mampu bekerja atau justru tersumbat oleh ego sektoral dan kebijakan yang tidak mendengar rakyat.

Ketika lingkungan sosial rusak—ketidakadilan, tumpulnya kebijakan publik, aspirasi yang tidak tersalurkan, dan minimnya akuntabilitas—maka kerusakan lingkungan alam hanya tinggal menunggu waktu untuk berubah menjadi konflik sosial.

Green Democracy harus memahami kedua ekosistem ini: alamnya, dan manusianya.

Ketua DPD RI H. Sultan Baktiar Najamudin, S.Sos., M.Si. bersama Tody Ardiansyah Prabu, S.H

DPD RI: Penjaga Suara Daerah yang Tidak Boleh Tumpul & Pengawal Lokomotif Demokrasi Peta Jalan Indonesia Emas 2045.

Konsep yang Anda tegaskan sangat penting: Pimpinan DPD RI beserta seluruh anggota DPD RI harus akuntabel, partisipatif, dan mampu mengkultrasi suara rakyat—bukan sekadar mendengarkan, tetapi mengolah dan memperjuangkannya menjadi kebijakan.

Ada tiga tugas besar DPD yang harus diperjuangkan dan sering diabaikan publik:

1. Menampung Aspirasi

Semua kepentingan rakyat, kelompok masyarakat, organisasi adat, hingga komunitas rentan harus ditampung tanpa batas. Tidak ada aspirasi yang terlalu kecil untuk di dengar.

2. Mengagregasi Kepentingan

Ini poin krusial yang disampaikan:
aspirasi harus dikumpulkan, dipilih, dipilah, dan dipadatkan menjadi prioritas yang bisa memecahkan masalah nyata.

DPD harus menjadi mesin agregasi, bukan kotak saran.

Baca juga:  Kedaulatan Pangan 2045: Mewujudkan Mimpi dari Perbatasan Negeri

3. Mengelola Konflik

Dalam demokrasi sehat—yang penulis akan sebut caturlogi—konflik bukan musuh, tetapi sinyal dari masyarakat. Yang berbahaya adalah ketumpulan pemerintah dalam meresponsnya.

Ketika aspirasi rakyat tidak terkelola, ia bisa: memanas, memadat, lalu meledak.

Inilah yang harus dicegah oleh seluruh anggota DPD RI termasuk anggota DPD Ri Dari propinsi Jawa Barat: Menjadi zona pendingin, bukan peredam sementara.

Green Democracy = Lingkungan Alam + Lingkungan Sosial

Opini ini perlu ditegaskan secara berani:
Green Democracy yang tidak mengurus suara rakyat hanya akan menjadi proyek hijau kosmetik.

Demokrasi hijau harus menempatkan: partisipasi rakyat, akuntabilitas, keterbukaan, agregasi kepentingan publik dan keberanian politik untuk masuk ke sektor yang selama ini dianggap “sensitif”.

DPD RI tidak boleh takut memasuki wilayah yang selama ini terjebak ego sektoral. Ketika pemerintah daerah atau instansi pusat saling tarik menarik, DPD harus menjadi jembatan.

Kebijakan Pemerintah Pusat: Momentum yang Tidak Boleh Disia-siakan

Kita harus menyampaikan fakta dengan cara yang aman secara hukum, tetapi tegas:

Sejumlah kebijakan Pemerintah Presiden Prabowo Subianto memang memiliki manfaat signifikan bagi masyarakat.

Mulai dari: penguatan desa, peningkatan kapasitas fiskal daerah, hingga program solidaritas Ketahanan pangan dan Kemandirian Energi.

Tetapi manfaat itu akan berkurang bila tidak disinergikan dengan demokrasi hijau ( Green Democracy ) ,
Pemerintah pusat bisa mendorong perubahan; daerah harus memastikan implementasinya tidak melukai lingkungan sosial maupun alam.

Di sinilah posisi DPD RI Dewan Perwakilan Daerah RI kembali vital: mengintegrasikan kebijakan pusat dengan kebutuhan nyata daerah.

Pembangunan inklusif dimulai dari daerah yang kuat menuju Demokrasi yang sehat.

Jangan Sampai Menjadi Demokrasi Tumpul

Konsep teori Caturlogi yang digagas oleh TAP Tody Ardiansyah Prabu, S.H :

GAGASAN Caturologi Pembangunan adalah Mantra Pembangunan melengkapi atau memyempurnakan dari Trilogi Pembangunan yang digagas Soemitronomic : 1. Pertumbuhan,  Ekonomi. 2. Pemerataan. 3. Stabilitas Nasional dan disempurnakan pointnya ke 4 yakni melibatkan partisipasi publik & Demokratisasi di jalankan dengan Sehat.

Peta Jalan NKRI kedepan demokratisasi haris berjalan dengan sehat dalam kebijakan politik anggaran di tanah air yang transparan , pemerataan dan berkeadilan utk menguatkan pertumbuhan perekonomian nasional 6- 7 % dari target 8 % pasca gejolak tuntutan dari masyarakat akhir Agustus 2025

Demokrasi empat ruang dialog: pemerintah, rakyat, kebijakan, dan pengawasan—harus hidup. Jangan sampai demokrasi menjadi tumpul ketika: aspirasi rakyat tak didengar, konflik tidak dikelola, ego sektoral menutup pintu koordinasi dan kebijakan publik berjalan tanpa evaluasi.

Di titik inilah ledakan sosial berpotensi muncul. Ini bukan ancaman, tetapi logika sederhana dari ekologi sosial-politik.

Baca juga:  Sekda Ema : Rentenir Ibarat Senja. "Awalnya Begitu Menggoda"

Kesimpulannya Green Democracy Adalah Jalan Satu-satunya untuk Mencegah Krisis Sosial dan Ekologis

Demokrasi hijau tidak boleh dipikirkan sebagai urusan pohon dan sungai saja.
Ia adalah sistem besar yang menghubungkan: lingkungan alam, lingkungan sosial, aspirasi rakyat, kebijakan publik, serta akuntabilitas pemerintah.

Sebagaimanan contoh DPD RI Propinsi Jawa Barat harus menjadi garda terdepan dalam: menampung aspirasi, memilah dan memadatkan kepentingan publik, mengelola konflik sosial, menjaga akuntabilitas pemerintah dan memastikan demokrasi tidak tumpul di tangan ego sektoral.

Inilah bentuk Green Democracy yang matang: demokrasi yang mendengar, mengolah, melindungi, dan bertanggung jawab pada masa depan.

Dan Indonesia tidak punya pilihan lain selain menuju ke sana—sebelum lingkungan alam rusak, dan lingkungan sosial meledak.

Penulis Tody Ardiansyah Prabu, S.H berharap Presiden RI agar bisa memperjuangkan harapan agar kewenangan dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) periode 2029 – 2034 menjadi lebih luas merupakan aspirasi yang sering muncul, dan hal ini memerlukan perubahan konstitusional

Perluasan kewenangan DPD RI akan membutuhkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD NRI 1945), sebuah proses politik yang kompleks .

Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang beranggotakan perwakilan dari setiap provinsi, dipilih melalui pemilihan umum. Anggota DPD RI sering disebut sebagai senator. Yang mana
Struktur dan Anggota Setiap provinsi di Indonesia memiliki 4 orang wakil di DPD RI, terlepas dari jumlah penduduk atau luas wilayah provinsi tersebut.
Saat ini, dengan 38 provinsi di Indonesia, total keseluruhan anggota DPD RI berjumlah 152 orang.

Fungsi dan Wewenang DPD RI berperan sebagai jembatan aspirasi daerah ke tingkat nasional, dengan fokus pada isu-isu yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya.
Fungsi utama DPD meliputi legislasi, pengawasan, dan penganggaran,

Dewan Perwakilan daerah yang dapat melahirkan para senator – senator aspiratif handal dan hebat Sebagai Pengawal Lokomotif Demokrasi NKRI peta Jalan Kemakmuran Kesejahteraan rakyat Indonesia 1 Abad Kemerdekaan NKRI 2045

– TAP, S.H – Ketum Komunitas Rakyat Indonesia Unggul / Waketum DPP FABEM – SM ( Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa / Senat Mahasiswa ) – Wakil Ketua Majelis Pertimbangan / Pendiri BPP KAPMI ( Kamar Dagang Pengusaha Muda Indonesia ) – Advokat Peradi / Praktisi Hukum Bisnis Alumni Univ Trisakti – Sekretaris JMSI Jaringan Media Siber Indonesia Propinsi Jabar

Salam Rakyat Indonesia Unggul