Bandung Zoo: Cermin Buram Tata Kelola dan Ujian Integritas Pemkot Bandung

Avatar photo

Oleh: Rahmien Liomintono, Ketua Rumah Relawan Pendidikan Anak Bangsa Indonesia (RPABI)

Porosmedia.com – Kasus yang kini melilit Bandung Zoo bukan sekadar persoalan administratif atau konflik internal lembaga konservasi. Ia telah menjelma menjadi potret buram tata kelola publik di tingkat daerah, di mana kepentingan pribadi, ego sektoral, dan lemahnya kepemimpinan pemerintah daerah bersilangan di atas nasib satwa dan kredibilitas lembaga konservasi.

Surat Peringatan Kedua (SP-2) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan tenggat 30 Oktober 2025 menjadi alarm keras bahwa Bandung Zoo kini berada di tepi jurang pencabutan izin sebagai Lembaga Konservasi (LK). Jika sampai izin itu dicabut, maka secara hukum KLHK berhak mengambil alih pengelolaan melalui pembentukan Tim Pengelola Sementara (TPS). Namun, di balik prosedur administratif itu, terbentang potensi tarik-menarik kepentingan yang mengancam objektivitas dan keadilan dalam pengelolaan.

Masalah terbesar muncul ketika pengawas dan pemain berada di panggung yang sama. Ketika pihak-pihak yang seharusnya menjadi penjaga aturan justru memiliki keterlibatan langsung dalam konflik internal, maka transparansi berubah menjadi ilusi, dan setiap keputusan mudah dicurigai sebagai kompromi politik atau ekonomi. Dalam situasi semacam ini, publik pantas bertanya: siapa sesungguhnya yang ingin menyelamatkan Bandung Zoo, dan siapa yang ingin menguasainya?

Baca juga:  RPABI Gelar Silaturrahmi Bersama Ibu-ibu Simpatisan, Perkuat Sinergi untuk Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pasca pencabutan police line, ketidaktegasan aparat dan sikap menunggu Pemkot Bandung memperpanjang kekacauan. Ruang kosong otoritas dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mengambil alih kendali sepihak—tanpa dasar hukum yang kuat. Padahal, Undang-Undang telah menegaskan bahwa setiap perubahan struktur atau pengelolaan lembaga konservasi harus melalui mekanisme resmi serta persetujuan KLHK. Apa yang terjadi di Bandung Zoo menunjukkan bahwa aturan bisa dikesampingkan ketika kekuasaan berjalan tanpa pengawasan publik.

Kritik paling tajam patut diarahkan kepada Pemerintah Kota Bandung. Sebagai pihak yang semestinya menjaga stabilitas dan memastikan keberlanjutan fungsi publik, Pemkot justru tampak ragu, lamban, dan tidak berdaya menghadapi kekisruhan ini. Ketika pemerintah daerah lebih sibuk menimbang risiko politik dibanding menjalankan mandat hukum, maka fungsi pengawasan berubah menjadi formalitas, dan tanggung jawab publik tergadaikan.

Pemkot Bandung tidak boleh berlindung di balik alasan “menunggu arahan pusat”. Dalam kasus Bandung Zoo, yang dibutuhkan bukan sekadar koordinasi, melainkan ketegasan moral dan administratif. Lemahnya keputusan di tingkat lokal menciptakan preseden berbahaya: bahwa lembaga konservasi dapat diperlakukan seperti lahan ekonomi, bukan ruang pelestarian yang berpihak pada kehidupan satwa dan edukasi masyarakat.

Baca juga:  Pemberantasan Judi Online jangan hanya menjadi “lip service”

Situasi ini ibarat katak dalam panci air panas — persoalan dibiarkan mendidih perlahan hingga semuanya terlambat. Di Bandung Zoo, konflik internal, penyalahgunaan wewenang, dan minimnya integritas manajemen telah menjadi racun yang membunuh lembaga dari dalam. Dan seperti pepatah lama: ikan busuk dari kepala, maka krisis ini bermula dari kegagalan kepemimpinan.

Kini, jalan keluar harus dibangun dengan keberanian, bukan kompromi.
Langkah konkret yang seharusnya segera ditempuh Pemkot Bandung antara lain:

1. Membuka seluruh proses pengelolaan dan pengambilalihan kepada publik, agar tidak ada lagi ruang gelap bagi manipulasi atau permainan kepentingan.

2. Membentuk tim independen tanpa keterlibatan pihak yang berkonflik, demi menjaga objektivitas dan kredibilitas keputusan.

3. Menetapkan kesejahteraan satwa sebagai prioritas utama, bukan sekadar urusan administratif atau politis.

4. Melibatkan lembaga pendidikan, akademisi, dan komunitas pecinta satwa dalam pemulihan fungsi edukatif Bandung Zoo.

Bandung Zoo seharusnya menjadi simbol kebanggaan kota, tempat generasi muda belajar tentang alam dan tanggung jawab manusia terhadap satwa. Sayangnya, yang tersisa hari ini justru pemandangan tentang ketidakbecusan birokrasi, kaburnya akuntabilitas, dan hilangnya etika publik.

Baca juga:  Bamsoet Apresiasi Peluncuran Buku “Autobiografi Eros Djarot dan Apa Kata Sahabat”

Jika Pemkot Bandung gagal menegakkan ketegasan dan integritas dalam kasus ini, maka bukan hanya Bandung Zoo yang kehilangan legitimasi—tetapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintah kota.