Porosmedia.com – Di era keterbukaan informasi dan derasnya arus komunikasi digital, relasi antara pers dan pemerintah tak lagi hanya bersifat fungsional, tapi strategis. Di satu sisi, pers menjalankan peran sebagai penyampai informasi dan pengontrol kebijakan publik. Di sisi lain, pemerintah memerlukan media sebagai mitra diseminasi program-programnya. Namun, di antara keduanya ada garis tipis: apakah ini kemitraan sehat atau kooptasi terselubung?
A. Regulasi dan Pengawasan: Menjaga atau Mengatur Nafas Kebebasan Pers?
Kerja sama ini bertumpu pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan fungsi media sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (Pasal 3). Namun ketika pemerintah juga memiliki posisi dalam membentuk Dewan Pers (Pasal 15), muncul pertanyaan: seberapa independen lembaga pengawas itu dalam menjaga kebebasan pers ketika sebagian anggarannya berasal dari negara?
Meski Dewan Pers dinyatakan independen, ketergantungan struktural terhadap negara masih menjadi titik rawan yang harus terus diawasi oleh masyarakat sipil dan komunitas jurnalis itu sendiri.
B. Akses Informasi Publik: Antara Hak Warga dan Saring Berbasis Kepentingan
Di atas kertas, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin setiap warga, termasuk jurnalis, untuk mengakses informasi publik (Pasal 4 ayat 1). Tapi realitas di lapangan tidak sesederhana itu.
Banyak badan publik yang menunda, menyensor, bahkan menolak memberikan data yang sejatinya menjadi hak publik. Maka kerja sama ini seringkali berakhir sebagai bentuk “akses terbatas”—hanya untuk media yang akomodatif terhadap pemerintah.
C. Kampanye Publik: Kepentingan Sosial atau Propaganda Halus?
Ketika pemerintah menggandeng media dalam menyebarkan kampanye sosial dan kebijakan (berdasarkan UU No. 40/1999 dan Perpres No. 16/2018), publik patut bertanya: Apakah pesan-pesan itu objektif? Apakah kritik terhadap kebijakan tetap diberi ruang yang proporsional?
Tidak jarang kampanye publik menjelma menjadi komunikasi satu arah yang tak membuka ruang kritik. Media yang mestinya jadi penjaga nalar publik, malah terjebak sebagai corong kebijakan pemerintah.
D. Kemitraan dan Sponsorship: Transparan atau Transaksional?
Kemitraan pemerintah dengan media, sebagaimana diatur Permenkominfo No. 8 Tahun 2019 dan Perpres No. 16 Tahun 2018, sah dan dibenarkan. Namun tantangan utamanya adalah transparansi.
Apakah kerja sama itu dilaksanakan melalui mekanisme tender terbuka atau melalui “jalan belakang”? Apakah media yang kritis tetap diberi akses atau justru dikesampingkan? Di sinilah pentingnya evaluasi publik atas transparansi belanja negara dalam hal pengadaan jasa media.
E. Pendanaan dan Insentif: Penguatan Kapasitas atau Intervensi Halus?
Dukungan finansial seperti hibah, pelatihan, atau insentif kepada media bisa menjadi peluang penguatan profesionalisme jurnalistik. Tapi juga bisa menjadi jebakan. Berdasarkan UU Keuangan Negara (UU No. 17/2003), semua harus berbasis mekanisme anggaran.
Namun, ketika dana negara menyusup ke dapur redaksi tanpa kontrol publik yang ketat, nilai independensi media bisa terancam. Dalam situasi ini, “siapa bayar, dia bicara” bukan lagi ungkapan satir, tapi kenyataan suram.
F. Penyuluhan dan Edukasi: Agenda Literasi atau Monopoli Narasi?
Kerja sama untuk menyebarkan informasi edukatif (berdasarkan UU No. 14/2005, UU No. 36/2009, dan Permenkominfo No. 8/2019) sangat penting. Terutama untuk program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Namun, perlu ada keseimbangan: media harus diberi ruang untuk mengkritisi substansi program, bukan sekadar menyampaikan pesan positif. Bila tidak, maka kerja sama semacam ini hanya akan melahirkan narasi tunggal: negara selalu benar.
Kolaborasi atau Kooptasi?
Kerja sama antara pers dan pemerintah adalah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Tapi ketika kerja sama itu kehilangan prinsip keterbukaan, proporsionalitas, dan independensi, maka ia hanya akan memperlebar celah antara media sebagai watchdog dan media sebagai puppet.
Kuncinya adalah satu: integritas. Baik dari pihak pemerintah dalam menyusun kebijakan transparan, maupun dari media untuk tetap menjaga jarak profesional dan keberpihakan kepada kepentingan publik, bukan kekuasaan.
Oleh : Yadi Suryadi (Ketua DPD Kota Bandung Serikat Buruh Nasionalis Indonesia)