Porosmedia.com, Kab. Bandung – Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali memperkuat narasi budaya dalam institusi publik, kali ini melalui peluncuran logo baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Welas Asih. Namun, di balik estetika simbolik dan makna filosofis yang dipaparkan, publik kini menunggu sejauh mana nilai-nilai itu diwujudkan dalam pelayanan kesehatan yang konkret.
Logo yang diresmikan langsung oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada Selasa (8/7/2025) itu menampilkan siluet kujang biru dengan tiga lubang di punggungnya. “Lubang ini melambangkan Islam, Iman, dan Ihsan,” jelas Gubernur yang akrab disapa KDM.
Bagian bawah kujang menampilkan simbol menyerupai rahim—ikon yang menurut KDM memiliki makna mendalam: mewakili perempuan sebagai sumber kehidupan dan menggambarkan filosofi Sunda Tri Tangtu di Buana, yaitu Rama, Resi, dan Prabu. Simbol tersebut juga dikaitkan dengan kearifan lokal: Gunung kaian, lengkob kudu awian, lebak kudu sawahan, yang menyiratkan keharmonisan manusia dan alam.
Di dalam kujang, terdapat kaligrafi Arab bertuliskan Ar-Rahman Ar-Rahim dalam warna hijau, memperkuat sentuhan spiritual Islam yang menjadi dasar penamaan rumah sakit “Welas Asih” (Pengasih dan Penyayang). Antara kujang dan simbol rahim itu, lima titik merah muda mewakili fase kehidupan manusia serta lima prinsip Panca Waluya: Cageur, Bageur, Bener, Pinter, Singer.
Namun, di balik keindahan simbol dan kedalaman makna, muncul pertanyaan mendasar: apakah rumah sakit sudah mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam praktiknya? Apakah pelayanan RSUD Welas Asih kini benar-benar “pengasih dan penyayang”?
Pengamat kebijakan publik dari Forum Kesehatan Masyarakat Jabar, dr. Sulastri Ramelan, menyambut baik peluncuran logo, namun memberi catatan penting. “Simbol adalah pesan visual. Tapi pelayanan kesehatan tidak bisa hanya dikomunikasikan lewat filosofi. Yang paling mendesak tetap soal ketersediaan dokter, ketersediaan tempat tidur, transparansi obat, dan kecepatan penanganan pasien,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan harapan masyarakat luas bahwa rumah sakit milik pemerintah tidak hanya mengedepankan identitas budaya, tetapi juga menjawab kebutuhan dasar: pelayanan yang manusiawi, terjangkau, dan berkualitas.
Dalam kesempatan itu, Gubernur juga menyinggung pentingnya penghormatan terhadap para pendiri Yayasan Al Ihsan—lembaga yang sebelumnya menaungi rumah sakit tersebut. Ia meminta Direktur Utama RSUD Welas Asih menepati janji membuat prasasti nama-nama pendiri di bagian depan rumah sakit.
“Jangan lupa, saya titip. Letakkan di bagian depan. Tulis nama-nama mereka dengan baik, lalu kita beri apresiasi kepada keluarga mereka,” kata KDM.
Langkah tersebut dinilai positif sebagai upaya menjaga integritas sejarah lembaga. Namun, publik berharap tindakan ini tidak hanya simbolis, melainkan disertai audit terhadap kesinambungan visi para pendiri dengan arah pelayanan RSUD di bawah pengelolaan pemerintah provinsi.
Ketua II Yayasan Al Ihsan, KH Olih Komarudin, menyatakan apresiasinya atas logo baru yang menurutnya “lengkap dan menggambarkan kondisi RSUD Welas Asih saat ini.” Namun bagi masyarakat umum, indikatornya bukan sekadar pada gambar, tetapi pada bagaimana nilai-nilai Islam, budaya Sunda, dan kemanusiaan itu benar-benar hadir dalam setiap interaksi pasien dan tenaga medis.
Logo adalah awal dari representasi institusi. Tetapi pelayanan adalah ukuran utama kepercayaan publik. Maka pertanyaan kritisnya: apakah RSUD Welas Asih yang baru ini akan meneguhkan “welas asih”-nya tidak hanya dalam nama dan simbol, tetapi juga dalam tindakan?