Buruh dalam Pusaran Ketidakpastian: Antara Keahlian, Status Kerja, dan Keadilan Hukum

Avatar photo

Oleh: Yadi Suryadi
Ketua Serikat Buruh Nasionalis Indonesia (SBNI)

Porosmedia.com – Dalam wacana ketenagakerjaan di Indonesia, istilah “buruh” kerap kali hanya muncul dalam konteks demonstrasi, mogok kerja, atau sengketa upah. Jarang sekali kita membicarakan buruh secara utuh—sebagai subjek produktif yang menopang industri, ekonomi, dan peradaban bangsa. Bahkan dalam kebijakan publik, buruh sering kali hanya menjadi objek pengaturan, bukan mitra sejajar pembangunan.

Secara fundamental, buruh dapat dikategorikan ke dalam dua dimensi utama: berdasarkan keahlian dan berdasarkan status kerja. Pembagian ini penting bukan hanya secara klasifikasi, tapi juga untuk memahami struktur ketimpangan dan kerentanan yang dihadapi kaum buruh hari ini.

1. Buruh Berdasarkan Keahlian: Terampil vs Kasar

Pertama, kita mengenal istilah skilled dan unskilled workers. Buruh terampil adalah mereka yang memiliki kompetensi spesifik, baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman lapangan—mulai dari mekanik, insinyur, hingga ahli IT. Di sisi lain, buruh kasar lebih mengandalkan kekuatan fisik tanpa keterampilan teknis khusus, seperti buruh tambang atau pekerja bongkar muat.

Baca juga:  Forum Pengemudi Jawa Barat Suarakan Perlawanan: “Sopir Bukan Tumbal Sistem”

Namun, dalam praktiknya, perbedaan ini justru sering menjadi dalih untuk membenarkan disparitas upah dan perlakuan kerja. Padahal, kontribusi buruh kasar terhadap ekonomi makro tidak kalah vital. Sayangnya, pengakuan terhadap nilai kerja mereka minim, bahkan dalam regulasi ketenagakerjaan sekalipun.

2. Buruh Berdasarkan Status Kerja: Tetap vs Lepas

Dimensi kedua adalah status pekerjaan: buruh tetap dan buruh tidak tetap. Buruh tetap biasanya memiliki kontrak jangka panjang dengan kepastian upah dan jaminan sosial. Sementara buruh tidak tetap atau pekerja lepas (kontrak) hidup dalam ketidakpastian: tidak ada jaminan kerja berkelanjutan, upah fluktuatif, dan sering kali tanpa akses ke perlindungan kesehatan atau ketenagakerjaan.

Model kerja kontrak dan outsourcing—yang makin marak sejak lahirnya UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023)—telah memperkuat fleksibilitas perusahaan, namun sekaligus memperlemah posisi tawar pekerja. Di satu sisi, efisiensi dikedepankan, tapi di sisi lain, martabat buruh dikorbankan.

Regulasi yang Berubah, Kepastian yang Goyah

Undang-Undang Ketenagakerjaan kita sesungguhnya telah memuat sejumlah prinsip penting. Misalnya:

Baca juga:  Surat Terbuka Serikat Buruh Kota Bandung Ungkap Dugaan KKN dan Diskriminasi di Perumda Pasar Juara

Pasal 77 UU No. 13 Tahun 2003: mengatur jam kerja maksimal.

Pasal 56: mengenalkan dua bentuk perjanjian kerja—PKWT dan PKWTT.

Pasal 88: menjamin hak atas upah layak.

Pasal 65: membatasi praktik outsourcing.

Pasal 79: mengatur hak cuti.

Namun, sejak diterbitkannya UU Cipta Kerja, beberapa pasal krusial direvisi untuk “memudahkan investasi”. Dalihnya: menciptakan lapangan kerja baru. Faktanya: semakin banyak buruh kehilangan kepastian kerja.

Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi dan memerintahkan pembentukan UU baru. Tetapi hingga kini, banyak kebijakan turunan yang masih merujuk pada semangat liberalisasi ketenagakerjaan.

Pemahaman terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan bukan sekadar isu akademik atau ranah pakar hukum. Bagi buruh, ini adalah alat perlindungan paling dasar. Hak atas upah, jaminan sosial, waktu kerja manusiawi, bahkan keselamatan kerja—semua berpijak pada regulasi yang berlaku. Tanpa kesadaran hukum, buruh mudah dikooptasi, dibungkam, dan dieksploitasi.

Sebaliknya, bagi pengusaha, pemahaman hukum adalah wujud kepatuhan dan tanggung jawab sosial. Tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa relasi industrial yang adil dan setara.

Baca juga:  Dibulan Ramadhan Marak Pengemis Di Kota Cimahi Dinsos Kota Cimahi Lakukan Antisipasi

Serikat Buruh Nasionalis Indonesia (SBNI) mendorong revisi regulasi ketenagakerjaan yang lebih manusiawi, partisipatif, dan menempatkan buruh sebagai mitra pembangunan, bukan sekadar sumber daya murah.

Negara harus hadir secara aktif—bukan hanya sebagai penengah dalam konflik industrial, tetapi sebagai pelindung hak-hak konstitusional pekerja. Jika tidak, maka hukum hanya akan menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.

“Buruh adalah tulang punggung bangsa, bukan sekadar tenaga yang bisa diganti setiap saat. Hormati mereka sebagaimana bangsa ini menghormati para pahlawan.”

 

Tentang Penulis:
Yadi Suryadi adalah Ketua Serikat Buruh Nasionalis Indonesia (SBNI), aktivis buruh lintas sektor, dan penggerak advokasi perlindungan hukum buruh berbasis keadilan sosial.