Forum Pengemudi Jawa Barat Suarakan Perlawanan: “Sopir Bukan Tumbal Sistem”

Avatar photo

Porosmedia.com, Kab. Bandung – Riuh lalu lintas dan sorotan terhadap sistem transportasi logistik, para pengemudi truk di Jawa Barat akhirnya bersuara. Mereka bukan sekadar mengeluh, tapi menyatakan sikap. Dalam forum silaturahmi lintas komunitas yang digelar di kawasan Stadion Si Jalak Harupat, Minggu, 6 Juli 2025, para pengemudi yang tergabung dalam Forum Pengemudi Jawa Barat (FPJB) dan Serikat Buruh Nasionalis Indonesia (SBNI) Kota Bandung, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap minimnya perlindungan hukum bagi pengemudi.

Salah satu pernyataan paling tajam datang dari Ketua FPJB yang di dampingi Ketua SBNI Kota Bandung Yadi, Agus, yang menyebut bahwa pengemudi truk sering kali menjadi “tumbal hukum” dalam kecelakaan akibat kelebihan muatan — padahal semua itu bermula dari instruksi perusahaan.

“Kami tak anti aturan. Tapi bila semua kesalahan dibebankan kepada sopir, sementara perusahaan logistik yang menyuruh membawa muatan hingga 50 ton malah bebas dari jerat hukum, lalu di mana keadilan?” tegasnya di hadapan awak media.

Praktik manipulasi muatan disebut sebagai persoalan struktural. Surat jalan resmi yang dikeluarkan perusahaan logistik kerap mencantumkan angka 35 ton, namun di lapangan, kenyataannya kendaraan dijejali muatan hingga 50 ton. Sopir tak kuasa menolak karena tuntutan kerja dan ancaman pemutusan hubungan kerja yang terselubung.

Baca juga:  Buruh dalam Pusaran Ketidakpastian: Antara Keahlian, Status Kerja, dan Keadilan Hukum

Ketika terjadi kecelakaan, menurut Agus, pengemudi langsung dijadikan tersangka, tanpa penyelidikan menyeluruh terhadap perusahaan pemberi perintah. “Sopir disalahkan. Perusahaan cuci tangan. Aparat kadang tutup mata. Ini bukan lagi kecelakaan biasa, tapi kriminalisasi sistematis,” tambahnya.

FPJB juga menyinggung praktik pemalakan di jalanan oleh oknum di titik-titik pemeriksaan yang menjadi luka lama bagi para pengemudi. Situasi ini memperparah kondisi psikologis dan ekonomi sopir, yang sudah terbebani target dan muatan berlebih.

 

“Alih-alih dilindungi, kami justru diperas dari berbagai sisi. Kalau bukan dari perusahaan, ya dari oknum di jalan. Pengemudi tidak punya ruang aman,” ujar salah satu anggota FPJB yang hadir.

Dalam keterangannya, FPJB merujuk sejumlah regulasi yang selama ini diabaikan oleh para pelaku industri logistik:

UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Pasal 169 dan Pasal 277 menyebutkan bahwa perusahaan bertanggung jawab atas keselamatan kendaraan dan muatan.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin keselamatan dan perlindungan hukum bagi pekerja, termasuk pengemudi.

KUHP Pasal 55 menegaskan bahwa pihak yang menyuruh melakukan tindak pidana juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Sayangnya, implementasi regulasi ini di lapangan justru bias. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Dalam forum tersebut, FPJB dan SBNI menyampaikan empat tuntutan konkret:

1. Tindak tegas perusahaan logistik yang memaksa sopir membawa muatan berlebih.

2. Aparat hukum harus objektif, tidak serta-merta menyalahkan sopir dalam insiden kecelakaan.

3. Perlindungan hukum yang jelas dan adil bagi pengemudi sebagai pekerja yang rentan.

4. Penghapusan praktik pungli dan pemalakan jalanan yang semakin menindas pengemudi.

Kesimpulannya acara silaturahmi ini bukan sekadar ajang temu kangen komunitas pengemudi. Dihadiri oleh sejumlah tokoh pergerakan sopir seperti Agus Juber (PSPB), Atep Agus (SKBDI), Abah Ahay (PSBI), dan Muhidin (PPNJ), forum ini menjelma sebagai konsolidasi moral dan politik para pengemudi untuk menyusun kekuatan kolektif dalam menghadapi ketimpangan sistemik.

Berlokasi di depan Stadion Si Jalak Harupat, pertemuan ini menjadi titik balik: pengemudi tidak lagi hanya menjalankan perintah, tetapi mulai menyusun narasi perlawanan terhadap sistem yang timpang.