Habis Mulyono, Terbitlah Mulyadi: dari Panggung Media Sosial ke Panggung Kekuasaan

Avatar photo

 

Porosmedia.com – Kini sorotan tajam terhadap stagnasi politik nasional, nama Dedi Mulyadi tiba-tiba kembali mencuat dengan kekuatan yang nyaris tak terbendung. Gubernur Jawa Barat ini tidak hanya mengguncang panggung politik lokal, tetapi juga memperlihatkan bagaimana konten viral bisa menjadi modal politik yang sangat efektif—lebih dari baliho, lebih dari mesin partai.

Kelahiran narasi baru ini mengingatkan banyak pihak pada fenomena Jokowi satu dekade lalu. Sama-sama mengandalkan gaya populis, blusukan yang teatrikal, dan senyuman dalam bingkai kamera. Namun Dedi tampil dalam versi yang lebih sadar layar, lebih matang secara teknis, dan tentu saja: lebih didesain.

Latar belakang Dedi Mulyadi sebagai mantan Bupati Purwakarta memberi fondasi kuat atas gaya komunikasinya yang unik. Ia membangun citra sebagai “Ki Sunda”, pemimpin adat yang tidak segan bicara tentang falsafah, keseharian rakyat, bahkan mistisisme lokal. Tapi jangan salah: di balik penampilan sederhana dan bahasa rakyat itu, terdapat struktur komunikasi yang dirancang secara sistematis.

Tim khusus—yang secara informal dikenal sebagai “tim konten”—bertugas merekam, menyunting, dan menyebarluaskan seluruh aktivitas Dedi Mulyadi. Mulai dari menyambangi petani di Cianjur, menegur preman pasar di Subang, hingga berseloroh di warung kopi. Semuanya dikemas apik untuk TikTok, Instagram, Facebook, dan YouTube.

Baca juga:  Dikepung Pers Bekasi Raya, Gubernur Dedi Mulyadi Diminta Klarifikasi Pernyataan Antimedia

“Kami meduga bukan sekadar bikin dokumentasi. Mereka membentuk persepsi,” ujar salah satu pemerhati digital di Bandung yang tidak mau  disebutkan namanya.

Apa yang dilakukan Dedi bukan sekadar memanfaatkan media sosial, tetapi mengonstruksi realitas politik berbasis algoritma. Ia tahu kapan harus tampil heroik, kapan harus menyentuh sisi haru, kapan bicara keras terhadap aparat, dan kapan diam seribu bahasa. Narasi tentang kesederhanaan dan keberpihakan kepada wong cilik menjadi formula yang diulang-ulang dalam berbagai bentuk.

Dalam satu video, Dedi terlihat memberi uang kepada pemulung. Di video lain, ia memarahi ASN yang malas. Publik pun larut dalam alur cerita ala sinetron realitas: ada pelaku, ada korban, ada penyelamat—dan Dedi selalu menjadi penyelamatnya.

Namun di balik layar, semua dikalkulasi. Jumlah tayangan, grafik komentar, hingga analisa sentimen menjadi bahan evaluasi mingguan bagi timnya. Dedi Mulyadi adalah seorang politisi yang tidak hanya paham budaya lokal, tapi juga memahami cara kerja dunia digital hingga ke detailnya.

Kritikus menyebut Dedi sebagai “politisi konten”, pemimpin yang terlalu sibuk membangun citra ketimbang gagasan. “Kalau hanya viral dan menyentuh emosi, banyak influencer bisa melakukannya. Tapi negara butuh pemimpin yang bisa menyusun strategi pembangunan, bukan sekadar menciptakan drama sosial,” ujar Yahya Saugi, pengamat politik dari Bandung.

Baca juga:  Festival Temanggung 2025 Hadirkan Sego Gono dan Ndas Borok di Kiara Artha Park

Beberapa kebijakan Dedi juga menuai polemik. Dari penggantian nama rumah sakit yang menuai protes, hingga gaya mengkritik ormas yang dianggap provokatif. Namun semua itu, alih-alih melemahkan, justru memperkuat eksistensi digitalnya.

“Kontroversi adalah oksigen bagi media sosial. Semakin banyak dihujat, semakin tinggi jangkauan,” kata seorang pengamat digital.

Yang membuat kemunculan Dedi Mulyadi menarik adalah kemiripannya dengan Jokowi—bukan hanya dari sisi gaya, tapi juga dalam cara membangun narasi nasional dari akar lokal. Dedi berhasil memanfaatkan warisan budaya Sunda sebagai alat diplomasi politik. Ia bicara tentang pertanian, moralitas, bahkan spiritualitas, dan menjualnya dengan kemasan yang mudah diklik.

Banyak yang menyebut Dedi sebagai “Jokowi dari Priangan”, meskipun secara politik ia lebih agresif dan berani menyasar isu-isu sensitif.

Namun benarkah Dedi adalah kelanjutan dari Jokowi? Atau justru ia adalah mutasi baru dari populisme digital yang lebih lihai memainkan persepsi?

Kebangkitan Dedi Mulyadi juga membuka pertanyaan tentang peran media dalam demokrasi era algoritma. Ketika perhatian publik ditentukan oleh platform, dan platform dikendalikan oleh pola konsumsi, maka politisi yang mampu menguasai algoritma akan unggul, terlepas dari substansi kebijakan.

Ini adalah bentuk baru dari hegemoni: bukan lagi narasi tunggal dari negara, melainkan produksi wacana oleh individu yang menguasai logika digital.

Baca juga:  Haidar Alwi Dianggap Berhasil Menjaga Muruah Jokowi di Mata Dunia

Apakah kita siap memiliki pemimpin yang dibentuk lebih oleh “like” daripada “legislasi”? Apakah politik konten bisa mengatasi kompleksitas pemerintahan? Atau kita hanya sedang menyiapkan panggung besar bagi aktor baru dalam demokrasi yang kian mirip reality show?

“Habis Mulyono, terbitlah Mulyadi.”
Kalimat itu bukan sekadar permainan kata. Ia menyimpan isyarat tentang pergeseran besar dalam lanskap politik Indonesia: dari kekuasaan berbasis jaringan struktural menjadi kekuasaan berbasis jaringan sosial.

Tapi dalam dunia yang serba viral ini, kita patut bertanya: apa yang tersisa dari kepemimpinan sejati ketika segalanya bisa disulap menjadi konten?