Porosmedia, Bandung – Di sebuah sudut timur Kota Bandung, berdiri kokoh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang selama puluhan tahun dikenal sebagai RS Al-Ihsan. Bagi sebagian masyarakat, nama itu bukan sekadar pelabelan administratif. Ia adalah simbol perjuangan, semangat kolektif umat Islam Jawa Barat dalam menghadirkan pelayanan kesehatan yang berakar pada nilai-nilai spiritual.
Namun, sejarah itu kini terguncang. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi—yang akrab disapa KDM—baru-baru ini mengeluarkan keputusan mengejutkan: mengganti nama RSUD Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Pemerintah menyebutnya sebagai upaya “rebranding,” pendekatan lokalitas, dan penyederhanaan citra. Tetapi yang diterima publik bukan kesegaran identitas baru, melainkan gelombang kemarahan dan kecurigaan.
Bagi Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat, langkah Gubernur Dedi bukan hanya keliru, tapi juga menyakitkan. Ketua API Jabar, Ustaz Asep Syaripuddin—atau yang akrab dipanggil Kang UAS—menyebut kebijakan itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap sejarah umat Islam.
“Nama Al-Ihsan itu bukan pemberian seorang pejabat. Itu buah perjuangan para ulama. Ada nilai, ada niat, ada doa,” tegas Kang UAS dalam konferensi pers Jumat (4/7/2025), di Bandung.
RS Al-Ihsan memang tak lahir dari ruang hampa. Ia dibangun tahun 1993 oleh Yayasan Al-Ihsan yang digawangi oleh enam tokoh berpengaruh Jawa Barat—gabungan dari ulama dan unsur pemerintah. Peletakan batu pertamanya dilakukan saat Ramadan. Momen itu sakral. Ia menandai niat kolektif umat untuk menghadirkan rumah sakit berbasis nilai-nilai kebaikan spiritual: berbuat baik karena Allah melihat, makna terdalam dari kata Ihsan.
Pergantian nama menjadi Welas Asih oleh KDM dianggap sebagai proses dekontekstualisasi. Meskipun memiliki arti “kasih sayang” dalam bahasa Sunda, nama baru itu dinilai tidak memiliki ikatan historis, apalagi spiritual, dengan rumah sakit tersebut.
“Ini bukan soal nama cantik atau tidak. Ini soal akar. Soal warisan umat yang hendak dihapus begitu saja,” kata Kang UAS.
Pemerintah provinsi memang mengambil alih RS Al-Ihsan sejak 2004, mengubah statusnya menjadi rumah sakit daerah. Namun nama Al-Ihsan tetap dipertahankan. Selama dua dekade terakhir, nama itu tumbuh menjadi identitas kolektif umat, melewati pasang surut zaman.
Kemarahan API Jabar tidak muncul dalam ruang hampa. Dalam ingatan publik, Dedi Mulyadi adalah tokoh yang kerap bersinggungan dengan nilai-nilai keislaman arus utama. Ketika menjabat Bupati Purwakarta, ia menggenjot pembangunan patung-patung dan ornamen budaya yang oleh sebagian kelompok Islamis dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
Kini, di panggung yang lebih besar sebagai Gubernur Jawa Barat, kebijakan mengganti nama RS Al-Ihsan kembali memunculkan luka lama.
“Jangan bungkus agenda ideologis dengan jargon budaya,” kata Kang UAS tajam. Ia menilai, rebranding ini lebih dari sekadar estetika birokrasi. Ia adalah bagian dari pertarungan tafsir, perebutan kendali atas narasi ruang publik di Jawa Barat.
Respons umat tak terbendung. Dari kalangan pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, hingga alumni rumah sakit itu, suara penolakan mengalir deras. Media sosial turut menjadi arena perlawanan, memunculkan tagar-tagar penolakan seperti #TolakWelasAsih dan #KembalikanAlIhsan.
Sebagian tokoh masyarakat bahkan mendesak DPRD Jawa Barat untuk segera memanggil Gubernur dan mengevaluasi kebijakan ini. Mereka menilai, jika tidak dikoreksi, ini akan menjadi preseden buruk dalam relasi antara pemerintah dan kelompok keagamaan.
“Jangan remehkan sensitivitas umat. Ini soal simbol, soal rasa memiliki. Pemerintah harus peka,” ujar Kang UAS.
Pertanyaan yang kini menggantung di udara: apakah ini sekadar kekeliruan komunikasi atau bagian dari skenario jangka panjang untuk menetralisasi identitas Islam di ruang publik Jawa Barat?
Kang UAS meyakini, perubahan nama hanyalah permukaan. Di baliknya, ada pergeseran lebih dalam tentang arah sejarah dan peran umat dalam membentuknya.
“Ini bukan tentang nostalgia. Ini tentang siapa yang berhak menulis sejarah Jawa Barat hari ini,” pungkas Kang UAS dengan nada tajam.
Kontroversi penggantian nama RSUD Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih menunjukkan betapa sensitif dan strategisnya persoalan identitas dalam kebijakan publik. Ia mengingatkan kita bahwa dalam setiap keputusan birokrasi, terdapat dimensi simbolik yang tak bisa diabaikan.
Dan ketika simbol-simbol itu dianggap direnggut, maka umat akan bangkit. Bukan semata demi sebuah nama, tapi demi menjaga makna, sejarah, dan jati diri.