Ketika Gubernur Merendahkan Wartawan: Saat Popularitas Medsos Lebih Berharga dari Independensi Pers

Avatar photo

Porosmedia.com, Bekasi – Suasana di Saung Jajaka, Kabupaten Bekasi, Kamis 3 Juli 2025, bukan sekadar hangat oleh kopi dan obrolan. Ratusan jurnalis dari berbagai penjuru Bekasi Raya berkumpul dalam satu ikrar: melawan narasi yang merendahkan profesi mereka. Bukan tanpa sebab—yang menjadi pemantik adalah pernyataan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang viral di media sosial. Dalam sebuah pernyataan terang-terangan, KDM menyarankan masyarakat untuk tidak lagi bermitra dengan media, melainkan cukup mengandalkan media sosial pribadi seperti Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube untuk publikasi kegiatan.

Bagi komunitas pers, ini bukan sekadar statemen. Ini tamparan. Bahkan, bagi sebagian, ini bentuk nyata dari upaya delegitimasi pers sebagai pilar keempat demokrasi. Bukan pertama kalinya, tapi kali ini, datang dari seorang gubernur.

“Media adalah corong masyarakat. Bukan pelengkap algoritma,” ujar Doni Ardon, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Bekasi, dengan nada getir.

Doni tidak sendirian. Ia mewakili kekecewaan kolektif ribuan jurnalis yang merasakan bagaimana kerja keras mereka direduksi menjadi sekadar opsi tak penting dalam narasi kekuasaan. Ia menegaskan bahwa media profesional bekerja dengan prinsip akurasi, verifikasi, dan akuntabilitas—sesuatu yang tidak bisa dijamin oleh unggahan media sosial yang bebas dari kontrol etis dan standar jurnalistik.

Baca juga:  Kebun Percontohan Margo Mulyo, Langkah Nyata Menuju Kedaulatan Pangan Desa

Jika pernyataan KDM didasari alasan efisiensi anggaran, itu lebih mengkhawatirkan. Penghematan yang mengorbankan lembaga penyampai kebenaran adalah kebijakan yang menyesatkan. Gubernur seharusnya memperkuat ruang-ruang kontrol sosial, bukan malah melemahkan.

“Pernyataannya tidak menunjukkan sikap kenegarawanan, bahkan cenderung melukai hati para insan pers. Ini bukan sekadar ‘emosi’ jurnalis, tapi panggilan moral,” kata Ade Muksin, Ketua PWI Bekasi Raya.

Menurut Ade, narasi yang dibangun oleh KDM menyesatkan dan berbahaya bagi iklim demokrasi. Dalam masyarakat yang banjir hoaks, justru media profesionallah yang menjadi benteng terakhir nalar publik. Ketika seorang gubernur memilih menyerahkan penyebaran informasi kepada media sosial—yang tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat—itu ibarat membuka gerbang untuk kekacauan informasi.

Apa yang dilontarkan KDM bukan sekadar polemik lokal Bekasi. Ini adalah preseden buruk nasional. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi virus narasi yang menular ke kepala daerah lain, yang merasa bisa meminggirkan media dengan dalih “zaman sudah berubah”.

“Media bukan musuh negara, tapi mitra bangsa,” tegas Raja Tua, Ketua AWIBB Jawa Barat.

Baca juga:  Ini Pesan Edi Kanedi Kepada Konstituennya Perihal SPD

Ia mengingatkan bahwa jurnalis bukan pencatat pinggiran, melainkan aktor penting dalam proses demokratisasi. Media yang sehat adalah tanda negara yang sehat. Ketika pejabat publik meremehkan media, itu pertanda ada yang tak beres dalam cara pandang mereka terhadap kekuasaan dan transparansi.

Pertemuan yang berlangsung di Saung Jajaka pun dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dari organisasi pers seperti AWPI, PPRI, AWI, KOSMI, hingga Forum Hari Ini (FHI), termasuk ormas seperti Jawara Jaga Kampung Nusantara (Jajaka) dan para penggiat medsos seperti Presiden Facebooker Indonesia, Ebong Hermawan. Di ruang itu, tidak ada sekat antara jurnalis senior, pemimpin redaksi, aktivis medsos, hingga jurnalis lepas. Yang ada hanya satu suara: hormati pers atau relakan demokrasi mati pelan-pelan.

KDM barangkali lupa atau sengaja menutup mata. Media sosial bukanlah ruang netral. Ia penuh bias algoritma, kepentingan viralitas, dan ketidakteraturan etis. Berita di media sosial bisa direkayasa, dimanipulasi, bahkan dijadikan senjata politik. Sementara media profesional—dengan segala keterbatasannya—masih menempatkan kode etik, verifikasi data, dan keberimbangan sebagai nilai utama.

Baca juga:  Pangdam I/BB Jangan Membenarkan Kebiasaan, Tapi Biasakanlah Kebenaran

Ketika kepala daerah lebih percaya pada “like dan share” dibanding kredibilitas berita, kita sedang menyaksikan dekadensi kepemimpinan dalam bentuknya yang paling halus namun paling berbahaya.

Seruan agar Kang Dedi Mulyadi menarik dan mengklarifikasi pernyataannya bukan tuntutan politik. Ini desakan moral. Ini bukan soal harga diri wartawan semata, tapi soal masa depan komunikasi publik yang sehat dan bertanggung jawab. Jika seorang gubernur tidak menghargai media, maka apa jaminan ia menghargai keterbukaan informasi?

Pers Indonesia saat ini tengah berada di titik kritis. Di satu sisi dituntut adaptif menghadapi teknologi, di sisi lain justru dilemahkan oleh narasi dari dalam pemerintahan itu sendiri. Apa yang terjadi di Bekasi bisa jadi batu loncatan penting untuk kembali menegaskan: Pers bukan alat kekuasaan. Pers adalah penjaga akal sehat bangsa.

Kang Dedi, pilihan ada di tangan Anda: memperbaiki narasi dan kembali menjadi pemimpin yang memahami pentingnya kebebasan pers, atau terus berjalan di jalur populisme digital yang menggerogoti pilar demokrasi itu sendiri.