Susi Air Buka Rute Bandung–Yogyakarta, Gubernur KDM Dorong Reaktivasi Bandara Husein, Tapi Bagaimana Nasib Kertajati?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Rute baru penerbangan Bandung–Yogyakarta yang diluncurkan oleh Susi Air dari Bandara Husein Sastranegara kembali membuka perdebatan publik seputar masa depan dua bandara strategis di Jawa Barat: Bandara Husein di pusat Kota Bandung dan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka.

Inaugurasi penerbangan perdana yang berlangsung Rabu (2/7/2025) ini turut dihadiri Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, serta CEO Susi Air, Susi Pudjiastuti.

KDM menyambut positif pembukaan rute baru oleh maskapai berbadan kecil ini sebagai upaya membangkitkan kembali denyut nadi penerbangan di Bandara Husein yang selama beberapa tahun terakhir mengalami stagnasi akibat pengalihan rute besar ke Kertajati.

“Kalau belum ditanam, ekosistem tidak akan pernah ada,” kata KDM. Ia menyebut rute baru ini sebagai langkah awal membangun kembali ekosistem penerbangan berbasis potensi lokal.

Namun, pernyataan KDM tersebut menyisakan tanda tanya besar. Pasalnya, pemerintah provinsi dan pusat sebelumnya telah menggelontorkan triliunan rupiah untuk pembangunan dan pengoperasian BIJB Kertajati, dengan skenario pemindahan seluruh penerbangan komersial dari Husein ke bandara baru tersebut.

Baca juga:  GovTech: Strategi Prabowo dan Bamsoet Menyatukan Negara dalam Satu Layar

Lantas, apakah dukungan Gubernur terhadap Bandara Husein menjadi sinyal perubahan kebijakan? Atau justru pertanda ketidakjelasan arah transportasi udara Jawa Barat?

KDM menegaskan bahwa dirinya “sayang” kepada kedua bandara tersebut. Pernyataan ini terdengar kompromistis, namun sekaligus kontradiktif. Dalam realitas politik dan tata kelola transportasi, “sayang kepada dua-duanya” berarti tak adanya prioritas yang tegas.

Kertajati disebut akan difokuskan untuk penerbangan haji dan umrah. Tapi publik tentu masih mengingat pernyataan pejabat-pejabat sebelumnya yang menjanjikan BIJB sebagai pusat penerbangan internasional dan penggerak ekonomi kawasan timur Jawa Barat. Kini, Kertajati justru digeser menjadi bandara ibadah? Apakah ini bentuk kompromi karena kurangnya minat maskapai besar dan penumpang terhadap BIJB?

Dibukanya kembali rute-rute domestik dari Bandara Husein, termasuk Bandung–Pangandaran, Bandung–Jakarta, dan kini Bandung–Yogyakarta, bisa dibaca sebagai sinyal bahwa BIJB belum optimal dan Bandara Husein masih terlalu vital untuk ditinggalkan.

Dibanding maskapai besar yang mulai menjauhi Bandara Husein, Susi Air justru mengisi celah kosong dengan model penerbangan skala kecil yang fleksibel dan berbasis kebutuhan niche market. CEO Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa Susi Air tetap berkomitmen melayani masyarakat, meski tak dilirik oleh kebijakan besar pemerintah.

Baca juga:  Dorong Kesejahteraan Warga, Berikut Pokok Pikiran DPRD di Musrenbang RKPD Kota Bandung

“Biasanya maskapai kecil seperti kami jarang mendapat perhatian. Tapi hari ini kami bersyukur bisa terus beroperasi,” ujarnya dengan nada optimis.

Namun tantangan tetap besar. Harga tiket Bandung–Yogyakarta dipatok Rp1.750.000—angka yang jelas tidak kompetitif dibandingkan moda transportasi darat seperti kereta api maupun bus antarkota. Promosi awal seharga Rp1.500.000 sekalipun belum cukup untuk menjangkau penumpang menengah ke bawah.

Apakah segmen ini cukup untuk menopang keberlangsungan rute? Ataukah ini hanya euforia sesaat dari proyek “reaktivasi bandara” yang belum terukur secara ekonomi?

Pengamat transportasi dan publik Jawa Barat berhak bertanya: sejauh mana Pemprov memiliki roadmap yang konsisten dan rasional terhadap dua bandara ini?

Pernyataan KDM bahwa Pemprov tengah menyiapkan roadmap transportasi publik untuk wilayah Bandung Raya mulai 2026 patut diapresiasi, tetapi apakah ini sudah terlambat? Bukankah selama ini bandara menjadi objek kebijakan reaktif, bukan proaktif?

Pemerintah seharusnya mengedepankan transparansi data penumpang, efektivitas subsidi, dan analisis kebijakan yang melibatkan publik dan pakar transportasi. Tanpa itu, pengembangan bandara hanya menjadi ajang simbolis yang terus dipenuhi ambiguitas antara keinginan politis dan realitas di lapangan.

Baca juga:  Karangan Bunga Satire, kita tidak melihat Kampus menjadi “Penjara Pemikiran” bagi Mahasiswa

Bandara bukan sekadar tempat mendarat dan lepas landas pesawat. Ia adalah cermin perencanaan wilayah, keadilan infrastruktur, dan keberpihakan pada rakyat.

Mendukung Bandara Husein tak harus berarti mengabaikan Kertajati. Tapi membiarkan keduanya hidup tanpa arah strategis yang terukur justru menyia-nyiakan potensi dan dana publik. Bandara bukan panggung retorika ganda. Ia butuh komitmen tunggal: transportasi udara yang efisien, adil, dan tepat guna.