Porosmedia.com, Sumedang – Derasnya arus modernisasi dan derasnya gempuran budaya global, masyarakat Rancakalong di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tetap setia memelihara denyut tradisi melalui satu hajat sakral: Bubur Asyura. Kegiatan bertajuk “Hajat Bubur Asuro & Milangkala Kawargian Pusaka Sunda Lugina Ka-1” ini akan digelar pada tanggal 6–7 Juli 2025 bertepatan dengan tahun 1447 Hijriah di Bale Djati Koesoemah, Dusun Rancakalong, Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.
Lebih dari sekadar upacara adat, Hajat Bubur Asuro adalah ritus budaya dan spiritual yang menyimpan pesan-pesan kemanusiaan, kebersamaan, serta kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini menjadi ruang kontemplatif bersama, mengingatkan masyarakat akan pentingnya menyatu dengan alam, sesama manusia, dan sejarah para leluhur.
Acara dimulai pada 6 Juli pukul 13.00 hingga sore dengan prosesi adat seperti Manci, Leupas Sinjang, Nyiriman, dan Nimbang, yang dibalut dalam iringan kesenian tradisional dari Seni Ormatan Tarawangsa — musik sakral khas Rancakalong yang dipercaya mampu menggetarkan batin serta menjembatani komunikasi spiritual dengan alam dan leluhur.
Malam harinya, masyarakat akan larut dalam nuansa marasan — ritual perenungan dan pentas seni sebagai bentuk persembahan. Sebuah momen yang tak hanya menyentuh spiritualitas, namun juga membuka ruang ekspresi dan interpretasi budaya secara kolektif.
Tanggal 7 Juli, agenda berlanjut sejak pagi dengan rangkaian aktivitas yang lebih merakyat dan reflektif: Ngametukeun, Ngamitkeun, Nggaelisian, dan Nyinjangan. Semua prosesi ini dibalut dalam suasana gotong-royong yang hangat, melibatkan semua lapisan masyarakat tanpa sekat usia, gender, ataupun status sosial.
“Pangeling wanci kamari, pieunteungeun mangsa nu rek disorang,” demikian bunyi semboyan acara. Sebuah ajakan untuk menengok ke belakang, bukan untuk terjebak masa lalu, tapi agar mampu melangkah lebih bijak ke masa depan.
Yang menarik, meski kental dengan nuansa adat, panitia juga tak menutup diri dari perkembangan teknologi. Tersedia barcode yang dapat dipindai untuk petunjuk arah ke lokasi, dan akun media sosial aktif seperti Instagram dan Facebook @sundaluginarancakalong yang terus mengabarkan perkembangan acara, menghubungkan akar budaya Sunda dengan generasi muda yang kini akrab dengan dunia digital.
Kegiatan ini juga menjadi penanda Milangkala (ulang tahun) ke-1 Kawargian Pusaka Sunda Lugina, komunitas budaya yang menjadi garda terdepan dalam merawat dan menghidupkan warisan tak benda Sunda secara utuh, kontekstual, dan lestari.
Di tengah ancaman hilangnya nilai-nilai budaya lokal akibat homogenisasi global, Hajat Bubur Asuro hadir sebagai bentuk perlawanan yang lembut namun mendalam. Perlawanan terhadap lupa, terhadap pemutusan akar sejarah, dan terhadap alienasi budaya yang kian mengikis jati diri masyarakat.
“Tradisi ini bukan nostalgia, tapi napas kehidupan. Kita harus terus menghidupinya, bukan sekadar mengenangnya,” ungkap salah satu sesepuh adat Rancakalong dalam sesi marasan tahun lalu.
Dengan semangat tersebut, acara ini bukan hanya milik masyarakat Rancakalong, melainkan panggilan untuk semua warga Sunda — bahkan seluruh masyarakat Indonesia — yang rindu pada nilai-nilai luhur, kerendahan hati, dan kesatuan dengan alam serta sesama.
Hajat Bubur Asuro adalah ajakan untuk menunduk, merenung, dan kemudian bangkit — membawa cahaya kearifan masa lalu menuju jalan panjang masa depan.