Porosmedia.com, Nias – Setelah dua tahun tanpa kejelasan, proyek gasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG) milik PT PLN (Persero) di Pulau Nias, Sumatra Utara, akhirnya digerakkan kembali. Proyek yang sempat digadang-gadang sebagai solusi efisiensi energi di wilayah terpencil ini nyaris mangkrak sebelum akhirnya dilakukan groundbreaking pada Kamis (3/7/2025).
Acara seremoni ini dihadiri oleh Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Korporasi PT PLN, Dirut PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Rahmat Dewanto, serta kepala daerah dari Pulau Nias. Namun, di balik seremoni dan pernyataan optimisme, publik patut mempertanyakan mengapa proyek yang strategis ini justru terabaikan selama dua tahun terakhir.
“Saya baru dua minggu menjabat direktur PLN, dan Pak Rahmat baru seminggu jadi Dirut EPI. Kami langsung tancap gas. Ini sudah terlalu lama tertunda. Gasifikasi harus dieksekusi, sesuai arahan Menteri dan Dirut PLN,” ujar Rizal Calvary, Direktur Manajemen Pembangkitan PT PLN Persero dalam sambutannya.
Rizal mengakui proyek Nias adalah bagian dari lima klaster proyek gasifikasi yang seharusnya menjadi prioritas nasional. Ironisnya, justru proyek ini yang tertinggal paling lama. “Ini proyek pertama dan akan jadi tolok ukur proyek gasifikasi lainnya. Saya sudah instruksikan agar dikawal ketat supaya target Commercial On Date (COD) kuartal IV 2025 tidak meleset lagi,” katanya.
Rizal juga menyoroti potensi keterlambatan proyek lain di kawasan timur Indonesia jika tidak segera ditangani secara sistemik. Ia bahkan menyatakan akan menggunakan pengalamannya di birokrasi untuk membantu mengurai persoalan perizinan yang selama ini menjadi “bottle neck” kronis dalam investasi energi.
Proyek LNG Nias akan melayani kebutuhan gas untuk satu unit PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) berkapasitas awal 34,4 MW dan ditargetkan naik menjadi 59,4 MW. Proyek ini digarap oleh PT LNG Nias Gasifikasi, perusahaan hasil kolaborasi antara PLN EPI dan PT Berkat Samudra Gemilang Lines (BSGL).
Rizal menekankan urgensi proyek gasifikasi sebagai solusi atas ketergantungan Indonesia terhadap BBM impor yang membebani fiskal negara. Produksi minyak nasional stagnan di angka 500.000–600.000 barel per hari, jauh di bawah konsumsi harian yang mencapai 1,6 juta barel.
“Kondisi ini memperparah biaya operasional pembangkit diesel (PLTD), khususnya di wilayah luar Jawa. Program gasifikasi akan mengurangi tekanan biaya dengan mengonversi PLTD menjadi PLTG,” tegas Rizal.
Ia menyebut, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLTD bisa mencapai lebih dari Rp 2.500 per kWh, sedangkan PLTG hanya berkisar antara Rp 1.200–Rp 2.300 per kWh. Dari sisi lingkungan, emisi karbon PLTG juga lebih rendah: 300–500 gram CO2 per kWh dibanding PLTD yang mencapai 500–600 gram CO2/kWh.
Meski seremonial berjalan lancar dan jargon “gercep” digaungkan, proyek ini menyisakan sederet pertanyaan:
Mengapa proyek strategis ini bisa tertunda selama dua tahun tanpa intervensi yang berarti dari direksi sebelumnya?
Apa evaluasi PLN terhadap hambatan yang menyebabkan stagnasi proyek sekelas ini?
Apakah PLN memiliki peta jalan (roadmap) yang realistis dalam menyelesaikan seluruh klaster gasifikasi di luar Jawa?
PLN memang tengah menghadapi tekanan untuk melakukan efisiensi dan transisi energi. Namun, jika proyek gasifikasi saja bisa dibiarkan terbengkalai dua tahun tanpa kejelasan, publik patut meragukan komitmen transisi energi nasional yang selama ini kerap digembar-gemborkan.
Sudah saatnya PLN dan anak perusahaannya berhenti menjadikan proyek energi sebagai panggung retorika seremonial. Energi adalah soal hajat hidup rakyat. Mangkraknya proyek gasifikasi bukan sekadar soal teknis, melainkan cerminan dari lemahnya tata kelola dan pengawasan internal yang harus segera diperbaiki. (***)