Dakwah Tanpa Etika Sosial: Ketika Agama Kehilangan Wajah Keberadaban

Menakar Ulang Keberagamaan: Kesalehan Tak Boleh Abai pada Tata Kelola Sosial

Avatar photo
Foto ilustrasi (Dok: ist/porosmedia.com)

Porosmedia.com, Agama seharusnya menjadi lentera moral dalam kegelapan zaman, bukan sekadar seremonial spiritual yang hampa dari tanggung jawab sosial. Namun dalam praktiknya, dakwah sering kali berjalan tanpa pertimbangan etis yang memadai. Salah satu contoh nyata adalah penyelenggaraan pengajian tanpa pemberitahuan kepada pemangku wilayah. Sepintas mungkin terlihat sepele, tetapi tindakan ini mencerminkan kegagalan memahami fungsi agama sebagai fondasi keberadaban.

Dalam kerangka keagamaan, etika bukanlah pelengkap administratif. Ia adalah jantung dari ajaran iman yang membedakan antara ritual yang bermakna dan kegiatan yang sekadar menggugurkan kewajiban. Ketika pengajian dilaksanakan tanpa koordinasi dengan lingkungan sosial, maka agama direduksi menjadi kepentingan privat yang abai terhadap tata kelola publik.

Ironisnya, sebagian justru beranggapan bahwa nilai keimanan memberi legitimasi untuk bertindak tanpa dialog. Padahal, keutamaan dalam agama terletak pada adab dan kepekaan terhadap hak orang lain—bukan dominasi simbolik atas ruang sosial.

Penyelenggaraan pengajian tanpa pemberitahuan pemangku wilayah bukan cuma mencederai norma sosial, tapi juga berpotensi menumbuhkan resistensi terhadap praktik dakwah itu sendiri. Bukankah dakwah sejatinya membangun keterbukaan dan silaturahmi? Jika cara yang ditempuh justru menutup pintu komunikasi, maka pesan dakwah tak ubahnya monolog yang gagal menyentuh hati masyarakat. (**)