Porosmedia.com, Bandung, Global Tech Insight – Musim panas 2025 telah memicu gelombang kejutan besar di industri kecerdasan buatan (AI). Empat ilmuwan top asal Tiongkok yang sebelumnya menjadi pilar utama pengembangan model GPT di OpenAI, secara dramatis hengkang dan bergabung dengan Meta. Di tengah ambisi untuk memenangkan perlombaan membangun Artificial General Intelligence (AGI), langkah ini tidak hanya mengguncang peta talenta global, tetapi juga menegaskan dimulainya babak baru dalam “perlombaan senjata teknologi” dunia.
Zuckerberg Menyalip Lewat Jalan Pintas?
Mark Zuckerberg dikenal bukan karena inovasi orisinal, tapi karena kecepatannya dalam meniru, mengakuisisi, dan mengonsolidasi kekuatan pasar. Dari menyalin Snapchat lewat Stories, TikTok melalui Reels, hingga menciptakan Threads sebagai tandingan Twitter, kini Meta kembali memainkan kartu utamanya: uang.
Dengan tawaran fantastis mencapai USD 100 juta (setara Rp1,6 triliun) per ilmuwan, Meta sukses membajak Zhao Shengjia, Bi Shuchao, Yu Jiahui, dan Ren Hongyu dari OpenAI—empat otak di balik model GPT-4o, o3, dan o4-mini. Ini bukan sekadar perekrutan, tapi pernyataan terbuka bahwa Meta tak lagi mau hanya jadi pengekor di ranah AI.
Namun, strategi ini datang dengan risiko:
Tuduhan sebagai perusahaan peniru abadi.
Potensi benturan budaya antara talenta baru dan struktur lama.
Sorotan tajam dari otoritas antimonopoli global.
Benarkah AGI Harus Terintegrasi dengan Manufaktur?
Ada pandangan menarik bahwa AGI sejati kelak tidak akan berguna jika tidak diintegrasikan dengan dunia nyata—manufaktur, robotika, hingga Internet of Things. Pendapat ini tidak keliru, tetapi juga tidak sepenuhnya lengkap. AGI pada dasarnya adalah sistem kognitif tingkat tinggi. Ia dirancang bukan hanya untuk menggerakkan mesin, tapi memecahkan persoalan-persoalan abstrak yang manusia pun sulit selesaikan.
AGI bisa hidup dalam ekosistem digital murni dan tetap berdampak besar. Misalnya dalam bidang:
Simulasi sains kuantum
Riset kedokteran presisi
Analisis krisis iklim global
Optimasi sistem keuangan dan politik
Integrasi dengan manufaktur bisa dilakukan sebagai aplikasi lanjutan, bukan prasyarat utama. Artinya, AGI bukan alat produksi, melainkan otak strategis global.
Amerika Serikat: Masih Raja AI, Bukan Hanya Raja Bitcoin
Klaim bahwa AS hanya unggul di wilayah “maya” seperti Bitcoin atau layanan digital, adalah penyederhanaan. Di balik kekuatan AI AS ada nama-nama besar yang tak terbantahkan:
NVIDIA dan AMD: Raja chip AI dunia
TSMC (walau berbasis di Taiwan, tetapi desain chipnya dikendalikan oleh Apple, Google, dan Tesla)
Boston Dynamics dan DARPA: Ujung tombak robotika militer dan eksperimen otonom
Jadi, AS tidak hanya bermain di dunia “virtual”, tapi juga masih menjadi kekuatan nyata di ranah hardware, algoritma, dan kebijakan teknologi global.
Huawei dan Tiongkok: Bangkit, Tapi Belum Menang
Huawei memang memiliki ekosistem chip (Ascend, Kunpeng), infrastruktur manufaktur, dan pasar domestik yang masif. Namun beberapa tantangan masih membayangi:
Sanksi teknologi AS yang membatasi akses ke teknologi mutakhir
Kurangnya pengaruh dalam software open-source global seperti PyTorch, TensorFlow, dan HuggingFace
Brain-drain ilmuwan AI asal Tiongkok yang memilih berkiprah di luar negeri demi kebebasan riset dan akses ke compute resources
Ini menandakan bahwa dominasi manufaktur tidak otomatis menjamin kemenangan dalam pertarungan AGI. Diperlukan sinergi antara infrastruktur, kebebasan riset, dan keunggulan etis.
Talenta China di Panggung Dunia: Nasionalisme atau Profesionalisme?
Perpindahan empat ilmuwan top AI asal China ke Meta bukan karena mereka “membelot”, tetapi karena mereka mencari:
Kebebasan intelektual
Kompensasi kompetitif
Akses teknologi mutakhir
Lingkungan riset yang mendukung eksperimen lintas-batas
Ini bukan lagi tentang negara melawan negara, tapi ekosistem melawan ekosistem. Dunia AI modern adalah arena kompetisi terbuka, tempat talenta terbaik memilih platform yang memungkinkan mereka berkembang paling optimal.
AGI: Milik Siapa? Tanggung Jawab Siapa?
AGI tidak akan dimenangkan hanya oleh uang, kekuatan negara, atau kecepatan rekrutmen. Ia akan lahir dari:
Kolaborasi global multidisiplin
Infrastruktur komputasi terbuka
Kultur riset yang sehat dan bebas dari represi
Keberanian etis dalam menghadapi potensi penyalahgunaan
Zuckerberg boleh membajak talenta. Huawei boleh unggul di infrastruktur. OpenAI boleh jadi pionir. Tapi pertanyaan sejatinya bukan siapa yang tercepat menciptakan AGI—melainkan siapa yang bisa memastikan bahwa AGI dikembangkan dengan tanggung jawab, transparansi, dan keberpihakan pada umat manusia.
Catatan Strategis untuk Indonesia
Di tengah hiruk-pikuk perebutan AGI global, Indonesia harus melihat celah:
Arahkan kurikulum nasional ke bidang AI, komputasi, dan etika teknologi
Bangun ekosistem manufaktur chip lokal, meski dimulai dari kerja sama lintas negara
Fokus pada AI aplikatif, bukan AGI, untuk sektor pangan, pendidikan, bencana, dan energi
Dorong riset open-source berbasis komunitas, bukan hanya startup dan venture capital
Indonesia tak perlu menjadi “raja AGI dunia”, tapi cukup menjadi bangsa yang cerdas dan adaptif dalam mengelola AI untuk kedaulatan rakyatnya sendiri.
Hasil wawancara Porosmedia.com dengan CEO FLEXlive & ZAMedia | Founder Balanced Path Academy | Produser NAPVisual Ir. Ayi Koswara tentang Teknologi Global | Strategi AI | Masa Depan AGI