Porosmedia.com – Di era limpahan informasi seperti sekarang, dunia tampak begitu terbuka. Setiap detik, layar ponsel kita dipenuhi oleh berita, opini, video pendek, dan potongan-potongan wacana yang seolah membanjiri kesadaran. Ironisnya, justru di zaman ketika akses terhadap pengetahuan begitu mudah, banyak orang merasa cukup tahu hanya dengan membaca judul berita, menonton satu menit video, atau menyimak opini yang tengah populer di media sosial.
Bukan hanya berhenti di situ—informasi yang dangkal itu sering diterima mentah-mentah tanpa penyaringan. Lebih jauh lagi, mereka yang merasa telah “tahu” kerap tergesa menghakimi, membenarkan dirinya sendiri, dan menutup telinga dari pandangan yang berbeda. Di sinilah lahir apa yang bisa disebut sebagai kesombongan intelektual—yakni perasaan telah mencapai puncak pengetahuan, padahal baru menyentuh permukaannya.
Kesombongan intelektual adalah musuh dalam selimut dunia pengetahuan. Ketika seseorang merasa paling tahu, paling benar, dan paling paham, maka ia tidak lagi mencari—ia mengunci dirinya dari pertumbuhan. Pikiran yang semula terbuka perlahan menjadi benteng pertahanan diri. Dialog berubah jadi debat. Diskusi menjadi medan pembenaran. Dan belajar tidak lagi bertujuan untuk memahami, tapi untuk memenangkan argumen.
Padahal, ilmu bukan soal siapa yang paling pintar atau paling cepat tahu. Ilmu adalah soal siapa yang paling bersedia belajar—terus menerus, tanpa henti. Belajar yang sesungguhnya lahir dari kerendahan hati, dari kesadaran bahwa seluas-luasnya ilmu, selalu ada hal yang belum kita ketahui. Dalam ketidaktahuan itulah kita bertumbuh.
Tak apa jika hari ini kita belum tahu. Yang penting, kita punya keinginan untuk tahu. Jangan biarkan ego memperdaya, membuat kita merasa telah sampai, padahal kita bahkan belum benar-benar memulai.
Rasa cukup dalam pengetahuan bukanlah tanda kedewasaan berpikir—itu adalah racun bagi pertumbuhan. Karena itu, tetaplah menjadi pembelajar. Bukan karena dunia menganggap kita belum tahu apa-apa, tapi karena kita sadar: dunia ini terlalu luas untuk merasa tahu segalanya.
Tetap belajar, tetap rendah hati. Karena dari sanalah ilmu benar-benar hidup.