Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Kota Bandung kembali menegaskan komitmen dalam menjamin sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (SPMB) yang bersih dan akuntabel. Pada Selasa, 24 Juni 2025, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan memimpin penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh kepala sekolah negeri dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, hingga SKB, di Aula SMP Negeri 2 Bandung.
Acara yang juga dihadiri unsur Forkopimda seperti TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri ini menandai babak baru pengawasan publik terhadap dunia pendidikan. Namun pertanyaan mendasarnya: apakah ikrar ini sekadar seremoni tahunan atau benar-benar mampu meruntuhkan budaya transaksional yang telah lama membayangi sistem penerimaan murid?
“Penandatanganan pakta integritas hari ini bukan hanya seremonial, tapi bentuk niat kita menjaga kualitas kerja dan integritas layanan publik,” ujar Farhan.
Pernyataan itu terdengar menjanjikan, tetapi publik masih menanti bukti nyata, bukan sekadar deklarasi simbolik. Di tengah maraknya isu pungutan liar, intervensi elite politik, dan persepsi sekolah favorit, publik tak cukup hanya diyakinkan—mereka butuh hasil.
Farhan menyebut terdapat 350 satuan pendidikan negeri di Kota Bandung, dengan total pendataan calon peserta didik yang telah mencapai 47.500 hingga 20 Juni 2025. Angka tersebut mencerminkan antusiasme tinggi masyarakat, namun sekaligus memperlihatkan besarnya potensi penyimpangan jika sistem seleksi tidak dikawal ketat..
“Alhamdulillah tidak ada pelaku yang terbukti. Mereka mundur teratur ketika kita gebrak-gebrak,” kata Farhan.
Namun, klaim bersih ini tetap memunculkan skeptisisme. Dalam pengalaman masa lalu, banyak praktik curang berlangsung di balik layar: melalui “orang dalam”, barter jasa, hingga tekanan politik lokal yang sulit dibuktikan secara formal. Artinya, belum adanya temuan bukan jaminan tidak adanya pelanggaran.
Farhan dengan tegas memperingatkan para orang tua agar tidak menggunakan “jalan pintas” untuk memasukkan anak ke sekolah favorit.
“Kita akan pidana bukan hanya penerima pungli, tapi juga pemberinya. Karunya budak,” ujarnya.
Pernyataan ini terdengar progresif, namun realitasnya lebih kompleks. Ketimpangan distribusi sekolah berkualitas membuat warga miskin seolah “dipaksa” berbuat nekat demi masa depan anak-anaknya. Ketika pilihan sekolah bagus terlalu sedikit, dan distribusinya tidak merata, maka pasar gelap penerimaan siswa tak akan pernah benar-benar mati.
Farhan mengakui masih adanya blank spot—wilayah tanpa akses memadai ke layanan pendidikan. Ia menjanjikan insentif seperti transportasi khusus dan kolaborasi dengan sekolah swasta.
Namun ini bukan isu baru. Tahun demi tahun, persoalan akses tetap menjadi luka lama yang diobati dengan plester retorika. Bahkan usulan untuk membuka akses pendidikan gratis di sekolah swasta melalui payung hukum nasional masih sebatas rencana yang belum menetas.
“Kami mendukung tindak lanjut keputusan MK soal pendidikan gratis di sekolah swasta, dan sedang menjajaki skema bantuan,” kata Farhan.
Publik berharap wacana ini tidak berhenti sebagai usulan kosong. Keadilan pendidikan tak bisa hanya bergantung pada keberuntungan tinggal di dekat sekolah unggulan.
Farhan menyebut persepsi favoritisme terhadap sekolah tertentu tidak dapat diatur lewat perda, dan memilih pendekatan peningkatan mutu secara merata.
“Saya harus bikin sekolah yang di Cibiru sama bagusnya dengan yang di tengah kota. Itu bukti nyata, bukan sekadar narasi.”
Namun tantangan terbesar bukan sekadar infrastruktur atau distribusi guru. Reputasi sekolah telah menjadi konstruksi sosial yang melekat dalam benak publik dan tidak bisa diubah hanya dengan slogan. Selama kualitas pembelajaran, kepemimpinan sekolah, dan fasilitas masih timpang, maka favoritisme akan terus hidup—tak peduli sekuat apa regulasi ditegakkan.
Catatan Kritis Porosmedia
Penandatanganan pakta integritas memang penting, tetapi jika tidak diiringi evaluasi independen, transparansi sistem digital, dan sanksi tegas, maka ia hanya menjadi dokumen hampa.
Pemkot harus mulai membuka kanal pengaduan publik yang real-time dan bebas intimidasi, serta melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam pemantauan jalannya SPMB.
Afirmasi untuk keluarga miskin perlu lebih progresif: bukan hanya insentif transportasi, tetapi kuota khusus dan pendampingan sistemik sejak dini.
Tanpa reformasi sistemik, SPMB setiap tahun hanya akan menjadi siklus pengulangan janji yang tak tuntas ditepati. Pakta integritas tidak akan berarti bila sistem yang melingkupinya masih membuka celah bagi manipulasi dan ketidakadilan.
porosmedia.com
Mengawal Transparansi, Menelisik Di Balik Narasi Resmi