Porosmedia.com, Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menyambut baik kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menaikkan gaji para hakim hingga 280 persen. Namun, Bamsoet mengingatkan bahwa lonjakan kesejahteraan ini tidak bisa berdiri sendiri, apalagi jika tidak dibarengi pembersihan menyeluruh terhadap penyakit lama yang masih menggerogoti lembaga peradilan.
“Kebijakan ini patut diapresiasi. Tapi jangan sampai kenaikan gaji ini hanya menjadi kosmetik politik yang tidak berdampak pada reformasi internal. Kenaikan gaji harus menjadi pemicu, bukan penghibur. Sekarang saatnya korps hakim membuktikan bahwa mereka benar-benar layak menyandang otoritas moral dalam menegakkan keadilan,” ujar Bamsoet di Jakarta, Jumat (13/6/2025).
Ketua MPR RI ke-15 itu mengingatkan bahwa publik masih dibayangi oleh krisis kepercayaan terhadap peradilan. Kasus suap demi suap yang menimpa hakim justru menjadikan lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan berubah menjadi arena jual-beli vonis.
“Jangan sampai gaji naik, tapi mental tetap bobrok. Kita tidak bisa menutup mata bahwa praktik koruptif di tubuh peradilan masih marak. Masih hangat dalam ingatan, pada April 2025 lalu, Kejaksaan Agung menangkap seorang Ketua Pengadilan Negeri bersama tiga hakim lain karena diduga menerima suap Rp 60 miliar dalam kasus vonis bebas ekspor CPO. Ini bukan sekadar noda — ini aib institusional,” tegas Bamsoet.
Menurut Bamsoet, momentum kenaikan gaji harus ditangkap sebagai sinyal bahwa presiden menghendaki reformasi menyeluruh, bukan basa-basi simbolik. Karena itu, para hakim harus membalas kepercayaan tersebut dengan menguatkan kembali fondasi etik dan independensi peradilan.
“Gaji tinggi seharusnya menjauhkan hakim dari bujuk rayu suap dan intervensi kuasa. Tapi sejarah membuktikan, tanpa integritas, nominal berapa pun tidak akan cukup menahan hasrat korup. Maka sekarang, beban moral hakim justru semakin berat,” ujar mantan Ketua DPR RI ke-20 tersebut.
Bamsoet juga menekankan bahwa kebijakan presiden bukanlah hadiah kosong, melainkan amanah berat yang hanya bisa dijaga oleh mereka yang bersedia melakukan koreksi internal dan konsolidasi moral secara kolektif.
“Kenaikan gaji ini bukan ‘cek kosong’. Ini adalah ujian: apakah para hakim mampu menjawabnya dengan peningkatan moral, transparansi, dan profesionalisme, atau justru akan mengkhianatinya dengan kompromi terhadap keadilan. Jika para hakim gagal menjawab amanah ini, maka publik sendiri yang akan menagih konsekuensinya,” pungkas Bamsoet.