Oleh: Bandung Monitoring Forum
Porosmedia.com, Bandung – Seratus hari bukan waktu yang panjang, namun cukup untuk menangkap arah angin. Begitu juga dalam kepemimpinan Wali Kota Bandung H. M. Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin. Setelah resmi dilantik, pasangan ini membawa harapan besar, terutama bagi warga yang sudah penat dengan stagnasi kebijakan dan kegaduhan birokrasi sebelumnya. Namun harapan itu, hingga hari ini, belum menjelma menjadi geliat perubahan yang signifikan.
Tentu, publik yang objektif tak menuntut keajaiban instan. Namun mereka juga tak bisa menelan basa-basi birokrasi yang terlalu piawai menyulap janji menjadi laporan formal tanpa denyut realisasi. Dalam rentang 100 hari, bukan kebijakan revolusioner yang dituntut, melainkan arah yang tegas dan sinyal keberpihakan yang jelas. Sayangnya, Farhan-Erwin justru memilih langkah penuh kehati-hatian—bahkan terlalu hati-hati—hingga tampak nyaris tanpa daya dobrak.
Frasa ini bukan tudingan sepihak, melainkan potret yang banyak digaungkan publik di media sosial. Bahkan simpatisan mereka yang semula optimistis mulai melontarkan komentar, “Kita husnuzon saja dulu,” seolah meyakinkan diri bahwa waktu masih panjang, dan mungkin—sekali lagi, mungkin—satu tahun ke depan akan lebih baik. Tapi narasi semacam ini sebetulnya adalah alarm dini. Ketika simpatisan sudah mulai berdoa, bukan menagih program kerja, itu pertanda kepercayaan sedang diuji.
Apalagi, dalam berbagai momentum krusial seperti revitalisasi pasar tradisional, penataan pedagang kaki lima, penyelesaian polemik angkutan kota, hingga pengelolaan aset publik yang terbengkalai, kepemimpinan Farhan-Erwin belum menampakkan sikap tegas. Banyak kebijakan masih meneruskan pola lama: rapat, koordinasi, tinjauan lapangan, lalu senyap dalam keheningan birokrasi.
Padahal, rakyat tidak butuh pemimpin yang sekadar “mencatat” dan “menghimpun data”. Rakyat butuh arah. Rakyat butuh keberanian. Rakyat butuh “jalan”, bukan wacana.
Farhan sebagai figur publik nasional dengan latar belakang media, dan Erwin sebagai birokrat senior, sejatinya punya kombinasi yang unik. Satu bisa berkomunikasi dengan publik secara luas, satu lagi mengerti belantara pemerintahan dari dalam. Namun apa gunanya harmoni bila tak menghasilkan simfoni kebijakan?
Program prioritas belum terasa menggigit. Bahkan tagline “Bandung Smart, Bandung Resik, Bandung Inklusif” yang digaungkan sejak masa kampanye, hingga kini belum punya wujud konkret di lapangan. Apakah ini sekadar slogan marketing politik? Atau memang belum diprioritaskan karena menunggu masa “konsolidasi internal”?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepala warga. Dan seperti biasa, jawaban dari elite hanya seputar: “masih evaluasi”, “sedang disusun”, atau “masih dalam tahap awal”. Persoalannya, warga kota ini sudah kenyang dengan politik perencanaan. Yang mereka tunggu adalah langkah implementasi. Jika dalam 100 hari awal pun tak terlihat inisiatif program unggulan, lantas kapan mereka akan mulai bergerak?
Bandung punya sejarah wali kota dengan gaya dan corak kepemimpinan berbeda. Dada Rosada dikenal lugas dan membumi. Ridwan Kamil menciptakan banyak gebrakan simbolik dan visual. Almarhum Oded M. Danial membawa pendekatan spiritual dan reformis. Farhan-Erwin berada dalam posisi harus menjawab ekspektasi warga yang sudah merasakan ketiganya. Mereka tidak bisa hanya menumpang lewat dalam sejarah kota ini.
100 hari mestinya cukup untuk menjelaskan: siapa lawan, siapa kawan, siapa yang harus didepak dari lingkaran penghambat, dan siapa yang layak jadi ujung tombak perubahan. Jika sampai saat ini “kawan dan lawan” masih belum jelas, maka reformasi birokrasi akan berjalan di tempat, bahkan mundur diam-diam di balik senyum protokoler.
Kami di Bandung Monitoring Forum tak sedang menggiring opini ke arah pesimisme. Justru sebaliknya: kami mendorong agar Farhan dan Erwin segera berani mengambil keputusan strategis. Jangan biarkan momentum 100 hari ini lewat begitu saja seperti embusan angin yang tak meninggalkan jejak.
Karena sejatinya, menjadi pemimpin bukan tentang berapa lama menjabat, melainkan tentang seberapa besar dampak yang bisa ditorehkan—meski hanya dalam waktu singkat. Warga Bandung tidak menuntut kesempurnaan. Tapi mereka berhak menagih kepastian: bahwa perubahan yang dijanjikan bukan sekadar mimpi di atas panggung kampanye.
Jika memang belum ada yang luar biasa dalam 100 hari pertama ini, maka biarkan kritik ini menjadi suluh. Bukan untuk membakar, melainkan untuk menyala—di dalam gelapnya harapan yang masih menggantung.
Bandung, 3 Juni 2025
Bandung Monitoring Forum
https://www.instagram.com/p/DKbTk8XB4GU/?igsh=MWNpbGxvOTc3cHh5Yg==