‎Ciroyom Membara: Ketika Suara Pedagang Diabaikan Demi Proyek Seremonial

Avatar photo

Oleh: Wempy Syamkarya | Pengamat Kebijakan Publik dan Politik

‎Porosmedia.com, Bandung – Pasar Ciroyom bukan sekadar pusat perdagangan; ia adalah denyut nadi ekonomi rakyat Kota Bandung. Di tengah geliat modernisasi dan revitalisasi perkotaan yang kerap mengatasnamakan “pembangunan,” suara-suara kecil dari lorong-lorong pasar tradisional justru kian tenggelam. Kasus terbaru yang menyeret Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Kota Bandung dalam konflik terbuka dengan para pedagang Ciroyom mencerminkan persoalan klasik: pembangunan yang tak berakar pada realitas sosial ekonomi.

‎Perumda Pasar sebagai pengelola memiliki mandat untuk memperbaiki infrastruktur pasar demi meningkatkan pelayanan dan daya saing. Namun, narasi revitalisasi yang kini disuarakan justru menuai penolakan keras dari pedagang. Bukan karena pedagang anti perubahan, tetapi karena prosesnya yang tertutup, terburu-buru, dan diduga sarat kepentingan kelompok.

‎Para pedagang menolak relokasi ke tempat penampungan sementara, keberatan atas harga kios yang dianggap tidak masuk akal, serta memprotes pembayaran booking fee sebelum ada kesepakatan harga bersama. Semua ini menunjukkan tidak adanya komunikasi transparan dan kemitraan sejati sebagaimana diamanatkan oleh Perda No. 8 Tahun 2020, khususnya pasal 4 yang menekankan asas kewajaran, transparansi, dan kemitraan saling menguntungkan.

‎Ironi berikutnya adalah menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar area pasar yang justru mendapat “kemudahan” berjualan tanpa menanggung beban kios, retribusi besar, atau ancaman relokasi. Pedagang resmi di dalam pasar menghadapi tekanan ekonomi, biaya tinggi, dan penurunan pengunjung. Sementara PKL, yang berada di ruang publik seperti trotoar dan badan jalan, justru leluasa berdagang. Kebijakan yang inkonsisten ini menciptakan kompetisi tidak sehat dan memicu kecemburuan sosial.

‎Jika ketimpangan ini terus dibiarkan, bukan hanya ekonomi para pedagang pasar yang runtuh, tapi juga wibawa pemerintah kota dalam menata ruang publik.

‎R. Wempy Syamkarya, pengamat kebijakan publik dan politik, mengingatkan bahwa Perumda sebagai entitas kebijakan ekonomi daerah seharusnya memahami kondisi riil para pedagang. Proyek revitalisasi, katanya, jangan menjadi sekadar proyek visual seremonial yang melupakan subtansi: keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.

‎Wempy juga menyoroti lemahnya komunikasi dan pendekatan yang dilakukan Perumda, terutama karena kehadiran aktor-aktor yang dianggap kurang kompeten dan tak memahami medan sosial di lapangan. Dirut Perumda Pasar pun didesak untuk turun langsung, bukan hanya demi menyelamatkan proyek revitalisasi, tetapi juga demi mengembalikan kepercayaan publik.

Para pedagang tidak menolak perubahan. Mereka justru mengajukan kebutuhan riil: meja dagang yang kuat dan antikarat, sistem drainase yang baik, area loading dock yang memadai, pengelolaan sampah yang terintegrasi, hingga akses jalan keluar yang aman. Semua itu adalah hal mendasar agar pasar tetap fungsional dan bersih—bukan kemewahan, melainkan kebutuhan.

‎Sayangnya, kebutuhan itu tertutup oleh skema revitalisasi yang terlihat lebih mengedepankan tampilan fisik ketimbang efisiensi dan keberlanjutan pasar.

‎Para pedagang memohon perlindungan langsung kepada Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat. Mereka tidak sedang minta subsidi, tetapi menuntut keadilan kebijakan dan penghentian segala bentuk penyalahgunaan jabatan yang menghancurkan eksistensi mereka.

‎Dalam situasi ini, pemimpin sejati adalah mereka yang berani turun tangan menyelesaikan konflik secara manusiawi dan bermartabat. Pasar tradisional bukan sekadar tempat jual beli, melainkan ruang hidup ekonomi rakyat. Jika pemerintah hanya berpihak pada pembangunan fisik tanpa mengindahkan suara pedagang, maka revitalisasi sejatinya hanyalah penggusuran dengan wajah baru.

‎Pasar Ciroyom adalah cermin. Ketika cermin itu retak karena kebijakan yang timpang, maka yang terlihat adalah wajah buram dari tata kelola ekonomi kota. Pemerintah daerah dan Perumda harus mengembalikan kepercayaan publik dengan mendengar, berdialog, dan bertindak bijak. Pedagang tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin bisa hidup layak, bekerja tenang, dan berdagang dalam rasa aman di tanahnya sendiri.