Porosmedia.com, Bandung – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, tampaknya ingin menanamkan optimisme baru dalam geliat ekonomi pasca transisi pemerintahan. Namun, saat menyampaikan pandangan dalam Rapat Paripurna DPRD Jabar pada Kamis, 22 Mei 2025, sinyal optimisme itu belum ditopang dengan presentasi teknokratis yang konkret dan argumentasi berbasis data.
Gubernur Dedi mengklaim bahwa Pemerintah Provinsi telah menggeser postur anggaran sebagai stimulus pertumbuhan, terutama pada sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kebencanaan, hingga pelestarian lingkungan. Namun ketika wartawan menanyakan soal angka pasti proyeksi pertumbuhan ekonomi ke depan, jawaban yang muncul justru berupa penyangkalan atas data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kata siapa, data dari mana?” ujar Dedi, merespons data BPS yang mencatat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat berada di angka 4,98 persen. Alih-alih memberikan pembanding resmi, Gubernur justru memilih retorika tanpa dukungan sumber yang dapat diverifikasi publik.
Pernyataan bahwa “ekonomi membaik dalam tiga bulan terakhir” pun tak dibarengi data valid. Tak ada penjelasan mengenai:
serapan anggaran hingga triwulan II,
target investasi aktual,
realisasi belanja pemerintah,
atau pergerakan indikator daya beli masyarakat.
Padahal dalam teori ekonomi modern yang diwariskan Keynes, pertumbuhan ekonomi dihitung secara sistemik berdasarkan komponen konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), serta ekspor-impor (X-M). Tanpa penjelasan atas variabel-variabel itu, narasi optimisme yang dibangun pemimpin daerah—betapapun intensinya baik—terancam menjadi hampa.
Sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia, dengan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional, Jawa Barat tak boleh sekadar mengandalkan retorika. Persaingan antarwilayah makin ketat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam dua kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi Jabar kalah cepat dibanding Banten dan DIY, bahkan dalam beberapa sektor unggulan.
Jika Gubernur benar-benar yakin ekonomi Jabar tumbuh, maka publik berhak mengetahui:
Apa basis proyeksi pertumbuhannya?
Bagaimana struktur alokasi anggarannya menopang pertumbuhan sektoral?
Dan di mana letak inovasi kebijakannya dibandingkan periode sebelumnya?
Tanpa kejelasan indikator dan arah, kebijakan fiskal hanya akan dilihat sebagai manuver politik. Rakyat Jawa Barat tak butuh jargon, mereka butuh hasil.
Optimisme itu penting. Tapi dalam dunia kebijakan, optimisme tanpa angka adalah kehampaan. Dan publik yang cerdas tidak ingin dibuai, melainkan diyakinkan.