Gala Dinner Asia Africa City Network: Media Lokal Disingkirkan, Demokrasi Dilecehkan?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Aroma kemewahan gala dinner Asia Africa City Network (AACN) di Pendopo Wali Kota Bandung, Senin malam (19/5/2025), mendadak berubah menjadi kegelisahan kolektif. Bukan karena menu yang kurang hangat, melainkan karena dinginnya sikap Pemkot Bandung terhadap media lokal. Sejumlah jurnalis yang hendak meliput agenda internasional tersebut diadang dan diusir oleh petugas keamanan. Perintah? Konon datang langsung dari ajudan Wali Kota.

“Ieu kacida ngarugikeun. Kami datang membawa mandat publik, bukan undangan pesta,” ujar salah satu jurnalis yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan. Ia menyebut dirinya dan beberapa awak media lokal lainnya sempat dibentak dan diminta segera meninggalkan area Pendopo tanpa alasan yang jelas.

Padahal, gala dinner AACN bukanlah pertemuan rahasia elit. Ini adalah forum kerja sama antar kota Asia-Afrika yang membawa nama Bandung sebagai episentrum sejarah Konferensi Asia-Afrika 1955. Ironis, ketika kota yang dulu menggema dengan semangat anti-kolonialisme kini justru membungkam suara medianya sendiri.

Larangan tersebut jelas menabrak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik dapat dipidana.” Ancamannya bukan main-main: kurungan dua tahun atau denda setengah miliar rupiah.

Baca juga:  Satgas Yonif 642/Kps Berikan Penyuluhan Pola Hidup Sehat dan Pelayanan Kesehatan di Kampung Masyeta

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, tidak ada satu pun pejabat Pemkot Bandung yang bersedia memberikan penjelasan resmi. Upaya konfirmasi yang dilayangkan redaksi porosmedia.com juga tak berbalas. Satu-satunya sumber yang terbuka justru datang dari kalangan jurnalis yang geram karena merasa diperlakukan seperti pengganggu.

“Bandung dikooptasi menjadi ruang eksklusif. Ini bukan hanya penyingkiran fisik, tapi peminggiran media lokal secara sistematis,” kata seorang pewarta foto senior yang malam itu turut menjadi saksi pengusiran.

Lebih menyedihkan lagi, beberapa media nasional tampak tetap diberi akses, menimbulkan kecurigaan adanya “seleksi media” yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam praktik jurnalistik.

Bukan Sekadar Soal Liputan, Ini Soal Martabat

Pemkot Bandung seakan lupa: media bukan sekadar pelengkap protokoler atau pengisi kolom “galeri kegiatan.” Ia adalah penyambung suara rakyat dan pengawas kekuasaan. Ketika media lokal dipinggirkan, yang dirampas bukan hanya hak wartawan, tapi hak publik untuk tahu.

Kejadian ini menampar wajah demokrasi lokal Bandung. Jika benar Pemkot memiliki niat baik, seharusnya ia membuka ruang klarifikasi dan menjamin kejadian serupa tak terulang. Jangan sampai kota yang pernah menjadi panggung solidaritas global kini tercatat sebagai wilayah yang gagal menjaga kebebasan pers.

Baca juga:  Data Base Karang Taruna Se Kota Cimahi Digelar

para awak media harus terus mengawal kasus ini dan menuntut transparansi penuh dari pihak Wali Kota. Sebab kami percaya: demokrasi bukan milik pejabat dan pendopo, melainkan milik rakyat dan suara kebenaran.