Hari Korps Cacat Veteran Indonesia: Antara Penghormatan dan Pengabaian Negara

Avatar photo

“Yang luka bukan hanya tubuh mereka, tapi juga nurani bangsa yang enggan benar-benar membalas jasa.”

Porosmedia.com — Setiap tanggal 19 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Korps Cacat Veteran Republik Indonesia (KCVRI)—sebuah momen penuh makna yang sering luput dari hiruk-pikuk narasi nasional. Mereka yang tergabung dalam KCVRI adalah saksi hidup sekaligus korban nyata dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI. Namun, di tengah penghormatan simbolik yang kerap dibacakan dengan suara lantang di atas podium, terdapat sunyi yang panjang: pengabaian struktural terhadap para pejuang yang cacat karena perang.

KCVRI dibentuk pada tahun 1957 sebagai wadah para veteran yang mengalami cacat tubuh akibat tugas negara, baik dalam agresi militer, operasi penumpasan pemberontakan, maupun tugas-tugas kemiliteran lainnya. Mereka adalah orang-orang yang rela kehilangan tangan, kaki, atau penglihatan demi merah-putih. Namun, sejak Orde Baru hingga Reformasi, narasi tentang para cacat veteran nyaris tenggelam di antara gemuruh peringatan hari-hari besar nasional yang lebih populer.

Negara memang memberikan pengakuan, namun tidak selalu memberikan penghidupan yang layak. Rumah-rumah reyot milik para veteran cacat masih berdiri di sudut-sudut kota, menyimpan ironi di balik slogan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.”

Secara hukum, perlindungan terhadap veteran diatur dalam UU No. 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia. Dalam praktiknya, bantuan yang diberikan, seperti tunjangan cacat, fasilitas kesehatan, dan perumahan, masih jauh dari kata mencukupi. Banyak veteran yang harus bergantung pada belas kasih keluarga dan masyarakat sipil karena minimnya pengawasan terhadap implementasi kebijakan.

Kondisi inilah yang menjadikan Hari KCVRI bukan sekadar seremoni, tetapi juga momentum evaluasi: sejauh mana negara hadir bagi mereka yang telah kehilangan sebagian tubuhnya demi eksistensi republik?

Kritik juga perlu diarahkan kepada struktur organisasi veteran sendiri. Sebagian besar anggota KCVRI merasa terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan baik di tingkat lokal maupun nasional. Mereka jarang dilibatkan dalam diskusi strategis kenegaraan, dan jika pun diundang, lebih banyak dijadikan simbolisasi seremonial ketimbang mitra dialog kebijakan.

Hal ini menciptakan dua lapisan ketimpangan: ketimpangan antara negara dan veteran, serta ketimpangan di dalam komunitas veteran itu sendiri. Seharusnya, Hari KCVRI menjadi titik masuk untuk membenahi sistem representasi dan distribusi keadilan sosial bagi para penyandang disabilitas dari kalangan pejuang.

Sudah saatnya paradigma terhadap veteran cacat diubah dari sekadar simpati menjadi rekognisi. Rekognisi berarti pengakuan penuh terhadap hak-hak politik, sosial, dan ekonomi mereka. Pemerintah harus mulai melibatkan KCVRI dalam perumusan kebijakan inklusif. Bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk menciptakan standar penghargaan terhadap jasa dan pengorbanan dalam konteks kebangsaan yang utuh.

Program-program pelatihan keterampilan, fasilitas pendidikan untuk anak cucu veteran, serta jaminan kesehatan dan perawatan pasca trauma harus menjadi prioritas. Ini bukan amal, melainkan kewajiban negara terhadap pejuangnya.

Cermin moral bangsa bukan hanya terlihat dari seberapa megahnya monumen pahlawan dibangun, tapi dari seberapa manusiawinya perlakuan terhadap mereka yang kehilangan kaki demi langkah republik. Hari Korps Cacat Veteran Indonesia harus menjadi pengingat, bahwa kita hidup karena ada yang terluka.

Kini, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, sudah waktunya kita bertanya: Apakah bangsa ini benar-benar merdeka dalam menghormati pejuangnya?

 

 

 

Baca juga:  Tahu Bungkeng, Cinta Pertama Kuliner Sumedang