Porosmedia.com — Ketika Prabowo Subianto melontarkan bahwa pertahanan negara tak semata persoalan rudal, drone, dan tank baja, dunia politik tersentak. Dalam pertemuannya dengan tokoh nasional Dedi Mulyadi, Prabowo menyuarakan sesuatu yang jarang muncul dari mulut seorang menteri pertahanan apalagi presiden: bahwa desa adalah benteng pertahanan sejati.
Bagi sebagian kalangan, pernyataan itu terdengar normatif—seolah basa-basi politik. Namun bagi para pengamat yang jeli membaca manuver, ini adalah sinyal pergeseran doktrin: dari hard power menuju civil defense berbasis komunitas.
Gagasan Dedi Mulyadi tentang desa sebagai basis pertahanan nasional bukanlah retorika kosong. Ia berbicara tentang sistem akar rumput yang tahan terhadap infiltrasi ideologi, gangguan sosial, dan potensi separatisme. Desa yang mandiri, makmur, dan terhubung dengan baik secara infrastruktur akan membentuk resilient society, benteng sosial terhadap berbagai ancaman non-konvensional: dari radikalisme, disinformasi, hingga krisis pangan.
Presiden Prabowo menyambut hangat gagasan itu. Bahkan memperkuatnya dengan tindakan simbolik: menggelar retret kabinet ala militer di Akademi Militer Magelang. Sebuah pesan jelas bahwa nilai-nilai kedisiplinan, loyalitas, dan komitmen akan menjadi fondasi baru pemerintahan.
Ini bukan sekadar pencitraan militeristik, tapi peneguhan ideologi: pertahanan tidak dibangun dengan senjata saja, tapi dengan manusia yang setia pada tanah airnya.
Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, menilai bahwa pendekatan Prabowo merupakan bentuk “defense diplomacy” internal. “Ini mirip strategi Total Defense yang dianut negara-negara Nordik. Masyarakat sipil dilatih memiliki kesadaran bela negara, bukan dipersenjatai, tetapi dibekali daya tahan sosial dan ekonomi,” ujarnya.
Senada, pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menyebut, “Kalau kita ingin menang perang generasi kelima—perang informasi, ekonomi, dan identitas—kuncinya adalah masyarakat sipil yang tangguh. Prabowo memahami itu. Dan desa adalah titik pangkalnya.”
Langkah Prabowo mengumpulkan kabinet di Magelang pun tak bisa dibaca sebagai seremoni belaka. Di tengah isu fragmentasi elite dan ketegangan pasca-pemilu, ini adalah penegasan: kekuasaan harus solid, loyal, dan disiplin. Gaya militer yang selama ini dianggap keras, justru dimaknai sebagai model tata kelola yang tegas dan antikompromi terhadap korupsi dan inefisiensi.
Namun tantangannya kini: apakah retorika ini diikuti langkah nyata? Akankah APBN mengalir ke desa dengan pola bottom-up yang sesuai kebutuhan rakyat? Apakah para kepala desa akan menjadi aktor strategis pembangunan, bukan sekadar boneka partai?
Tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi krusial. Semua narasi akan diuji pada pelaksanaan anggaran, arah pembangunan, dan keberpihakan kebijakan. Jika pendekatan pertahanan berbasis rakyat ini hanya berhenti di simbol, maka ia tak ubahnya mimpi populis yang gagal direalisasikan.
Namun jika dilaksanakan konsisten, Indonesia sedang mengukir paradigma baru: pertahanan tanpa represi, keamanan tanpa paranoia.
Dan desa, untuk pertama kalinya sejak reformasi, kembali menjadi subyek utama, bukan objek belaka.
Publik harus terus mengawal janji, mengawasi realisasi, dan menolak tunduk pada politik pencitraan. Karena kami percaya, pertahanan sejati dimulai dari transparansi dan keberpihakan pada rakyat.