Porosmedia.com — Setiap tahun, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional setiap 17 Mei dan Hari Perpustakaan Nasional setiap 14 September. Namun, di balik perayaan dan kampanye tahunan ini, men
gemuka ironi besar: Indonesia masih menghadapi krisis literasi yang kronis dan mengakar. Perayaan itu kerap berhenti pada seremoni, tanpa evaluasi mendalam atas akar masalah lemahnya budaya baca dan rendahnya ekosistem literasi di negeri ini.
Krisis Literasi di Negeri “Peringatan”
Data UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, yang berarti dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar rajin membaca. Bahkan dalam survei “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (2016), Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara.
Dr. Rahmawati, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, mengkritisi pendekatan negara yang cenderung bersifat simbolik. “Setiap tahun ada peringatan Hari Buku dan Hari Perpustakaan, tapi tidak ada perbaikan signifikan pada infrastruktur dan akses literasi. Yang dirayakan adalah seremoni, bukan kemajuan,” ujarnya saat diwawancarai dalam diskusi literasi oleh Perpustakaan Nasional, 2024.
Perpustakaan: Tempat Sunyi di Tengah Kebisingan Digital
Perpustakaan yang seharusnya menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan, kini justru menjadi tempat paling sunyi. Padahal, menurut UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, keberadaan perpustakaan wajib difasilitasi dan dikembangkan oleh negara, dari tingkat desa hingga provinsi.
Namun realitas di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya. Banyak perpustakaan di daerah tidak memiliki koleksi buku yang memadai, bahkan masih minim digitalisasi. Dr. Andi Surya, dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Airlangga, menegaskan bahwa “perpustakaan kita belum bisa bersaing dengan gawai. Anak-anak lebih tertarik scroll TikTok daripada membaca buku karena teknologi tidak dimanfaatkan untuk mendekatkan buku kepada pembaca.”
Hari Buku: Industri Terjepit, Penulis Terpinggirkan
Hari Buku Nasional seyogianya menjadi momentum untuk membangkitkan industri perbukuan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Penerbit kecil tergilas oleh dominasi penerbit besar, sementara penulis-penulis muda kerap dibayar murah, bahkan tidak mendapat royalti yang adil.
Menurut data IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), jumlah buku yang diterbitkan tiap tahun memang meningkat, namun jumlah pembaca tidak menunjukkan tren yang sama. Artinya, tingginya produksi buku belum diimbangi oleh daya serap publik.
Prof. Siti Zuhro, peneliti senior LIPI, menyampaikan kritik keras dalam webinar Hari Buku 2023: “Negara gagal menumbuhkan ekosistem literasi yang adil. Buku masih dianggap barang mahal, pajaknya tinggi, dan distribusinya lambat. Ini bukan hanya soal budaya baca, tapi soal akses dan kebijakan yang berpihak.”
Rekomendasi Kritis: Literasi Harus Menjadi Agenda Politik
Alih-alih sekadar memperingati hari-hari literasi nasional dengan lomba menulis atau baca puisi di kantor pemerintahan, pemerintah pusat dan daerah seharusnya membuat kebijakan konkret, seperti:
Menggratiskan pajak buku dan distribusinya, termasuk untuk buku digital;
Mengintegrasikan literasi dalam kurikulum sekolah secara tematik dan aplikatif;
Menghidupkan perpustakaan desa dengan anggaran khusus dan tenaga profesional;
Menjamin hak ekonomi penulis dan penerbit kecil agar produksi buku tetap hidup.
Literasi seharusnya menjadi agenda politik dan pembangunan nasional. Tanpa literasi, demokrasi mandek, partisipasi publik lemah, dan peradaban rapuh.
Bangsa yang Tak Membaca Akan Terus Tertinggal
Hari Buku dan Hari Perpustakaan akan terus menjadi tanggal di kalender tanpa makna, jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang menyentuh akar masalah. Literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi soal bagaimana bangsa ini menjaga akal sehat, membangun logika publik, dan merawat warisan pengetahuan.
Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Kita telah kehilangan banyak, jangan sampai kehilangan kesempatan untuk bangkit.