SPMB 2025 Kota Bandung: Transparansi atau Sekadar Janji Tahunan?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, dalam program “Siaran Bareng Pak Wali” yang ditayangkan TVRI Jawa Barat, mengklaim bahwa Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025/2026 akan berlangsung lancar dan transparan. Namun, di balik narasi yang terdengar menjanjikan, publik masih menyimpan banyak keraguan.

Farhan menyebut bahwa sistem SPMB Bandung tak mengalami perubahan besar karena sudah dijadikan rujukan nasional. Namun, minimnya evaluasi publik dan audit menyeluruh terhadap efektivitas sistem ini memunculkan pertanyaan: apakah tidak berubah karena efektif, atau karena enggan berbenah?

Perubahan teknis utama tahun ini adalah peralihan dari zonasi ke domisili. Bagi jenjang SD, radius domisili maksimal 1.000 meter menjadi dasar seleksi, dan untuk SMP 3.000 meter.

Namun, sistem ini rawan disalahgunakan. Surat keterangan domisili masih rentan dipalsukan atau direkayasa demi mengejar sekolah favorit. Pemerintah belum menjelaskan secara gamblang bagaimana validasi data domisili dilakukan, atau sanksi bagi pemalsuan dokumen.

Jalur penerimaan dibagi menjadi Domisili, Afirmasi, Prestasi, dan Mutasi. Kuota untuk SD didominasi jalur domisili (80%), sementara untuk SMP lebih variatif dengan komposisi 40% domisili, 30% afirmasi, 25% prestasi, dan 5% mutasi.

Baca juga:  LSM Pendidikan Noorwangsanegara Menyayangkan Pihak Sekolah Menahan Ijasah

Namun, publik patut mempertanyakan dasar logis dari proporsi ini. Apakah angka tersebut hasil dari kajian kebutuhan riil di lapangan atau sekadar kebijakan rutin tanpa koreksi mendalam?

Jalur Asimilasi dibagi menjadi dua kategori: Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP) dan Murid Berkebutuhan Khusus (MBK). RMP mengacu pada DTKS atau DTSEN. Sementara MBK membutuhkan asesmen dari Unit Layanan Disabilitas (ULD).

Di lapangan, banyak keluarga prasejahtera tidak tercatat di DTKS karena pendataan yang tidak merata. Sistem afirmasi pun akhirnya mengabaikan realitas kemiskinan yang tak terdata, dan menciptakan diskriminasi terselubung terhadap kelompok marginal yang tak punya akses ke birokrasi formal.

Farhan menegaskan bahwa mutasi hanya berlaku untuk perpindahan keluarga utuh dan harus tercatat sebelum 23 Juni 2024. Tapi tanpa transparansi proses verifikasi dan sistem pengawasan yang kuat, aturan ini riskan dilanggar oleh mereka yang punya akses dan kuasa.

Farhan menyebut Pemkot akan melibatkan DPRD, Inspektorat, dan APH dalam pengawasan. Namun, publik berhak skeptis. Seberapa aktif lembaga-lembaga ini benar-benar melakukan pengawasan menyeluruh terhadap sistem yang mayoritas berjalan secara digital dan rawan manipulasi?

Baca juga:  MTryout Scholarship Berikan Kesempatan Raih Beasiswa hingga 100% untuk Siswa Indonesia

Seluruh proses dilakukan secara online melalui laman spmb.bandung.go.id. Tapi bagaimana dengan orang tua yang tidak akrab dengan teknologi atau tidak memiliki akses internet stabil? Pemerintah belum menyampaikan langkah konkret untuk menjamin aksesibilitas merata.

Wali Kota kembali mengimbau agar masyarakat tidak terpaku pada sekolah unggulan. Tapi dalam sistem pendidikan yang belum merata kualitasnya, narasi ini terdengar normatif. Hingga kini, gap mutu antar sekolah masih jadi penyebab utama keresahan orang tua setiap musim penerimaan murid baru.

SPMB 2025 Bandung kembali mengklaim akan berlangsung lancar dan adil. Namun di balik narasi resmi, sistem ini tetap menyimpan celah, kerentanan, dan potensi ketimpangan struktural yang perlu terus diawasi secara kritis. Bandung butuh lebih dari sekadar retorika tahunan—dibutuhkan data, transparansi, dan akuntabilitas nyata.

Redaksi Porosmedia | [email protected]
Tulisan ini hasil penelusuran redaksi dan belum pernah dimuat di media online manapun.

Ingin saya ubah ke dalam versi HTML siap unggah untuk website Anda?