Porosmedia.com — Bantahan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo dan pendukung setianya, termasuk para buzzer di media sosial, terhadap tudingan koruptif yang diarahkan padanya, semakin menunjukkan pola yang sudah kerap kita saksikan. Ketika terpojok, strategi yang digunakan adalah meminta bukti, mengaburkan kredibilitas pihak yang mengungkapkan fakta, atau bermain kata-kata untuk mengalihkan perhatian. Namun, patut dipertanyakan, apakah ini sekadar pembelaan wajar atau bentuk manipulasi canggih demi menjaga citra?
Satu hal yang tak terbantahkan, bagaimana mungkin ada maling yang mengaku? Jika ada, tentu itu pengecualian yang sangat langka. Sebaliknya, mereka yang terbukti bersalah biasanya justru mencoba mengaburkan jejak dengan menyerang balik. Istilah “teriak maling” bukan sekadar pepatah usang, tetapi cerminan dari taktik klasik dalam mempertahankan kekuasaan.
Lalu, siapa yang meragukan kredibilitas Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP)? Sebagai lembaga jurnalisme investigatif internasional, OCCRP dikenal memiliki rekam jejak panjang dalam mengungkap kasus-kasus besar, mulai dari skandal Panama Papers hingga korupsi tingkat tinggi di berbagai negara. Tidak seperti buzzer atau politisi yang terikat oleh kepentingan tertentu, OCCRP berdiri di atas prinsip jurnalisme yang mencari kebenaran tanpa kompromi. Apakah masuk akal jika lembaga sebesar ini memiliki agenda khusus untuk menyerang seorang Jokowi? Terlebih, mereka tidak memiliki keuntungan langsung dari laporan yang dirilis.
Sebaliknya, kepentingan mereka adalah melawan penguasa korup dan mengawal demokrasi di negara-negara yang dirusak oleh oligarki dan kleptokrasi. OCCRP bergerak berdasarkan data dan fakta, yang tentu saja melalui proses verifikasi yang ketat. Narasi yang dilontarkan Jokowi dan para pendukungnya untuk mendiskreditkan OCCRP, dengan menggiring opini bahwa lembaga ini memiliki motif tersembunyi, justru menimbulkan lebih banyak kecurigaan. Bukankah ini upaya untuk menghindari transparansi dan akuntabilitas?
Bantahan para buzzer Jokowi hanya semakin mempertegas bagaimana mereka mengakui adanya perilaku koruptif Jokowi. Tidak mampu membuat data bantahan kecuali hanya mengaburkan temuan dan mendiskreditkan OCCRP. Strategi semacam ini bukan hanya tidak meyakinkan, tetapi juga menunjukkan bahwa pembelaan mereka sepenuhnya lemah dan tidak berbasis fakta.
Masyarakat Indonesia, sebagai pemilik sah kedaulatan negara, memiliki hak untuk mengetahui kebenaran. Ketika seorang pemimpin dituding melakukan tindakan koruptif, maka beban pembuktian tidak hanya pada pihak yang menuduh, tetapi juga pada pemimpin tersebut untuk membuktikan dirinya bersih. Transparansi dan keterbukaan menjadi kunci dalam membangun kepercayaan publik.
Jika Jokowi merasa tudingan ini tidak berdasar, mengapa tidak membuka seluruh data yang relevan untuk membantah tuduhan tersebut? Bukankah seorang pemimpin yang jujur tidak akan gentar menghadapi kritik, apalagi dari lembaga internasional yang kredibilitasnya tidak diragukan? Atau, apakah lebih nyaman berlindung di balik narasi patriotisme palsu, dengan menuduh pihak asing sebagai dalang segala keburukan?
Pertanyaan mendasar yang harus kita renungkan adalah: siapa yang lebih dipercaya? Apakah seorang pemimpin yang kerap menghindar dan menyerang balik saat dikritik, atau lembaga jurnalisme internasional yang bekerja berdasarkan fakta dan data? Keputusan ada di tangan rakyat, tetapi sejarah menunjukkan bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap, meski butuh waktu panjang. Kita hanya perlu memastikan, ketika kebenaran itu tiba, kita berada di pihak yang tepat.
Buat Pak Prabowo……kami akan terus berusaha menguatkan tekad bapak untuk memberantas korupsi, maka kami rakyat berharap, buktikan komitmen bapak memberantas korupsi dari mereka yang ada disekeliling bapak. Janganlah hukum tumpul ke kawan , tajam ke lawan.
Surabaya, 4 Januari 2025
M. Isa Ansori
Kolumnis dan akademisi, Tinggal di Surabaya