Porosmedia.com, Kota Cimahi -Dosen STIE Nurtanio dan LAN-RI, bidang Pemerintahan, Djamu Kertabudhi, angkat bicara, terkait ramainya para tokoh Kota Cimahi, LSM, praktisi hukum, masyarakat, yang mempermasalahkan ucapan seorang Balon Walikota Cimahi Aditya Yudistira, dalam potongan videonya, menurut Aditya Yudistira bahwa Cimahi berhasil menjadi Kota Otonom karena Hadiah akibat korban dari regulasi dan Cimahi tidak mempunyai wilayah yang jelas.
“Hingar bingar jelang kontestasi pilkada 2024 di Kota Cimahi berlangsung kian bergaung. Di mulai dari proses seleksi intern partai terhadap bakal calon Walikota, isu-isu miring yang sengaja dimuculkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang bernada merugikan mewarnai dinamika politik yang berkembang saat ini,” sesal Djamu. Jum’at (31/5/2024)
Selanjutnya menurut Djamu, dengan munculnya satu hal yang diluar dugaan muncul statement yang diucapkan oleh figur muda Aditya Yudhistira yang berkehendak mencalonkan dirinya sebagai calon Walikota Cimahi, saat pertemuan sosialisasi politiknya dengan forum RT/RW Kelurahan Leuwigajah,
Menyampaikan pernyataan sikap bernuansa kritik terhadap proses pembentukan Cimahi sebagai Daerah Otonom, yang menyatakan bahwa :
1. Terbentuknya Kota Cimahi sebagai korban Regulasi.
2. Kota Cimahi dibentuk tanpa konsep.
3. Kota Cimahi dibentuk faktor kebetulan.
4. Kota Cimahi tidak memiliki batas wilayah yang jelas.
Spontan saja unsur publik terutama tokoh masyarakat yang berjuang secara berdarah-darah atas terbentuknya Kota Cimahi bereaksi keras karena merasa tidak dihargai bahkan secara langsung disalahkan oleh orang yang satu ini.
Akhirnya Djamu merasa tergelitik untuk meluruskan pernyataan figur muda (Aditya Yudistira -red) potensial ini yang dinilai sangat keliru.
“Apabila memperhatikan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, yang dipicu oleh spirit Reformasi saat itu, menunjukan ada pergeseran corak pemerintahan, dari corak pemerintahan sentralistik ke corak pemerintahan desentralisitik,” ungkap Djamu.
Disamping itu, terdapat restrukturisasi lembaga pemerintahan, karena hasil evaluasi menujukan terdapat unsur lembaga pemerintahan yang tidak mencerminkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan.
“Salah satunya adalah kedudukan Kota Administratif dan Kewedanaan/Pembantu Bupati yang berada di wilayah Kabupaten termasuk yang dihapus. Proses penghapusan ini dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung dari sejak ditetapkannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 ini,” terangnya kembali.
Sehingga keberadaan Kota Administratif Cimahi ini sampai dengan Tahun 2001. Namun demikian, dalam Undang undang ini terdapat sebuah pilihan. Dan pilihan ini tergantung “political will” Bupati dan aspirasi masyarakat Cimahi.
“Yaitu bahwa “Kota Administratif dapat berubah status menjadi Kota Otonom apabika memenuhi persyaratan. Namun mengingat saat itu Bupati dan DPRD menghadapi tekanan dan aspiran pembentukan Kabupaten Bandung Barat melalui pemekaran Daerah, maka klausul perubahan status Kota Administratif Cimahi menjadi Kota Otonon itu tidak ada dalam agenda pemerintahan Daerah Kabupaten Bandung,” beber Djamu kembali.
Lebih lanjut Djamu menjelaskan Maka dari itu, dengan waktu yang sangat sempit masyarakat Cimahi yang dipelopori oleh para tokoh masyarakatnya berjuang baik melalui audensi maupun unjukrasa ke semua tingkatan pemerintahan, baik ke pemda Kab. Bandung, Pemda Prol. Jabar dan ke Pemerintah pusat & DPR-RI.
“Akhirnya atas dasar aspirasi masyarakat Cimahi, Pemda Kab. Bandung melakukan tahapan kegiatan yang diawali dengan kerja sama dengan konsorsium kelembagaan Perguruan Tinggi yang terdiri dari APDN, ITB, Unpad, Unjani, Unpas dan Unisba untuk melakukan kajian akademis tentang kelayakan perubahan status Kota Administratif Cimahi menjadi Daerah Otonom, dengan variabel penelitian meliputi aspek kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas wilayah, dan pertimbangan lainnya yang memungkinkan terselenggaranya otonomi Daerah,” jelas Djamu.
Selanjutnya, kata Djamu kembali, atas dasar hasil kajian akademis konsorsium lembaga perguruan tinggi ini dinyatakan bahwa Kota Administrstif Cimahi layak berubah status menjadi Kota otonom.
“Hasil perjuangan dari masyarakat Cimahi ini berbuah manis dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Otonom Cimahi. Di dalam UU ini dimuat pula tentang batas wilayah yang jelas antara wilayah Kota Cimahi dengan Daerah tetangga seperti dengan KBB, Kab. Bandung, dan Kota Bandung,” tandasnya.
Dengan uraian sejarah pemerintahan Kota Otonom Cimahi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya Kota Otonom Cimahi bukan korban regulasi tapi merupakan berkah atas dasar hasil perjuangan masyarakat Cimahi,
“Jadi agar lebih jelas, bahwa terbentuknya Kota Otonom Cimahi berdasarkan konsep yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, Kota Otonom Cimahi terbentuk bukan faktor kebetulan, tapi hasil perjuangan masyarakat Cimahi, dan batas wilayah Kota Cimahi secara rinci termuat sebagai bagian dari materi UU No. 9 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Kota Otonom Cimahi, dan telah ditindaklanjuti dengan program pematokan batas wilayah,” tegas Djamu.
“Selain daripada itu, semua pihak terutama saudara Aditya Yudisthira tidak lagi berwacana tanpa dalil atau argumen yang memadai tentang eksistensi Kota Cimahi ini untuk menghindari pemahaman yang keliru,” imbuhnya.
Dilain pihak manakala mau berwacana sebaiknya terlebih dahulu dapat berkunjung.ke Tokoh-tokoh pelaku sejarah untuk mendapat pencerahan sebagaimana mestinya. (Bagdja)