Porosmedia.com, Bandung – Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, mengajukan empat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) prioritas dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Bandung yang digelar Selasa, 10 Juni 2025. Usulan ini diklaim sebagai langkah strategis dalam mempercepat pembangunan daerah dan merespons dinamika kebutuhan masyarakat Kota Bandung yang terus berkembang.
Namun demikian, sejumlah pihak mempertanyakan apakah keempat Raperda tersebut benar-benar bersifat baru dan mendesak, atau sekadar pembaruan dari regulasi yang sudah ada, tanpa arah kebijakan yang revolusioner.
Dalam pemaparannya, Farhan mengusulkan empat Raperda sebagai berikut:
1. Raperda tentang Penyediaan, Penyerahan, dan Pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) Perumahan.
2. Raperda tentang Fasilitas Penyelenggaraan Pesantren.
3. Raperda tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat di Kota Bandung.
4. Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2025–2029.
Raperda pertama akan menggantikan Perda Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2019. Menurut Farhan, regulasi baru ini diperlukan untuk memperkuat aspek legal dan teknis dalam pengelolaan PSU perumahan seiring pertumbuhan penduduk. Namun, belum ada evaluasi publik terbuka terkait efektivitas Perda lama, sehingga urgensi perubahan ini patut dikritisi.
“Tujuannya adalah mengoptimalkan regulasi agar lebih adaptif dengan kebutuhan masyarakat dan mempermudah Pemkot dalam memelihara PSU,” jelas Farhan.
Sayangnya, tidak dijelaskan secara rinci kelemahan konkret dari Perda sebelumnya atau bagaimana mekanisme pengawasan dan keterlibatan warga dalam pengelolaan PSU akan diperbaiki.
Terkait Raperda tentang Fasilitas Penyelenggaraan Pesantren, Farhan menegaskan bahwa regulasi ini merespons peran strategis pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Raperda ini diinisiasi untuk menjamin penyelenggaraan pesantren yang tertib dan sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren,” kata Farhan.
Namun, beberapa pengamat pendidikan menilai bahwa regulasi baru terhadap pesantren rawan ditafsirkan sebagai bentuk intervensi terhadap institusi keagamaan yang selama ini memiliki kemandirian. Transparansi dalam perumusan pasal-pasalnya akan menjadi kunci penerimaan publik.
Usulan Raperda tentang Keberagaman Kehidupan Bermasyarakat disampaikan Farhan dengan alasan tingginya potensi konflik sosial akibat kompleksitas masyarakat perkotaan.
Ia menyebut, Raperda ini diperlukan untuk menjaga harmoni sosial dan mencegah konflik yang dapat menghambat pembangunan. Akan tetapi, belum dijelaskan strategi konkret yang akan diatur dalam perda tersebut—apakah akan mengedepankan edukasi, mediasi sosial, atau justru penindakan hukum?
Tanpa kejelasan indikator dan mekanisme pelaksanaannya, Raperda ini dikhawatirkan menjadi instrumen simbolik tanpa dampak nyata terhadap kohesi sosial di lapangan.
Raperda terakhir tentang RPJMD 2025–2029 diposisikan sebagai pedoman pembangunan lima tahunan yang akan menjadi rujukan utama program strategis Pemkot Bandung. Farhan menyatakan penyusunannya dilakukan dengan mengacu pada RPJPD 2025–2045 dan diselaraskan dengan rencana pembangunan provinsi dan nasional.
Namun, banyak kalangan menuntut agar RPJMD ini tidak sekadar menjadi dokumen formalitas, melainkan memiliki peta jalan yang terukur, akuntabel, dan partisipatif. Publik berharap RPJMD ini mampu mengatasi problem struktural kota, seperti kemacetan, ketimpangan wilayah, dan lemahnya pelayanan publik.
Ketua DPRD Kota Bandung, Asep Mulyadi, menyatakan bahwa usulan empat Raperda telah diterima secara administratif dan dibahas Badan Pembentukan Peraturan Daerah.
“Rapat paripurna hari ini resmi menyetujui usulan tersebut untuk masuk ke tahap pembahasan fraksi-fraksi,” ujar Asep, merujuk pada surat Wali Kota Nomor P-HK.02.01/1544/Baghuk/V/2025 tertanggal 27 Mei 2025.
Pandangan umum fraksi terhadap masing-masing Raperda akan disampaikan dalam Rapat Paripurna Rabu, 11 Juni 2025 pukul 13.00 WIB, yang dilanjutkan dengan jawaban Wali Kota pada pukul 15.30 WIB.
Empat Panitia Khusus (Pansus) akan dibentuk untuk membahas setiap Raperda lebih lanjut. Namun sejauh ini, belum ada agenda konsultasi publik terbuka atau pelibatan akademisi dan masyarakat sipil secara intensif dalam penyusunan Raperda tersebut.
Usulan empat Raperda ini sejatinya merupakan langkah normatif yang lazim dilakukan pada awal masa pemerintahan. Namun efektivitasnya sangat bergantung pada transparansi, pelibatan publik, serta konsistensi antara narasi kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. Tanpa itu semua, regulasi hanya akan menjadi tumpukan dokumen, bukan alat perubahan.