Hukum  

Vonis Ringan Harvey Moeis Bukti Lemah Sinergi Kejagung-MA

Avatar photo

Porosmedia.com, Jakarta – Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan uang pengganti Rp210 miliar ke Harvey Moeis di kasus tata niaga komoditas timah.

Vonis yang dijatuhkan hakim ke Harvey lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut Harvey hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Vonis itu menimbulkan kontroversi karena dinilai tak sebanding dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun dan berpredikat sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia.

Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi menilai, vonis ringan Harvey menunjukkan lemahnya sinergitas Kejaksaan Agung dengan Mahkamah Agung.

“Lemahnya sinergitas keduanya menyebabkan disharmonisasi untuk memberi efek jera bagi para koruptor,” kata Haidar, dalam keterangannya, Minggu (29/12/2024).

Diakuinya, kasus timah butuh penanganan khusus dari penegak hukum karena agak berbeda dari kasus korupsi lain. Perbedaannya ada dalam perhitungan kerugian negara yang ditimbulkan.

Ia menjelaskan, dari total Rp300 triliun kerugian negara di kasus timah, sebagian besar didominasi oleh kerugian ekologis atau lingkungan mencapai Rp271 triliun. Artinya, kerugian ekonomisnya hanya sekira Rp29 triliun.

Baca juga:  Target Pasarkan 120.000 MT CPO Bersertifikasi Internasional, PTPN IV PalmCo Proyeksi Raup Tambahan USD3,6 Juta Premium Price

“Dengan kerugian ekologis atau lingkungan sangat besar, Kejaksaan Agung mungkin ingin mengoptimalkan penegakan hukum terhadap koruptor. Namun, hakim yang menyidangkan perkara ini sepertinya kurang mendalami secara komprehensif,” ungkapnya.

Seiring meningkatnya kerugian negara karena perhitungan kerugian ekologis atau lingkungan, maka ekspektasi publik terhadap hukuman bagi koruptor semakin tinggi.

“Apa yang dilakukan Kejaksaan Agung tak akan begitu berarti jika tak ada harmonisasi dengan Mahkamah Agung. Kejaksaan Agung hanya terbatas pada menuntut, Mahkamah Agung lah yang menentukan vonis,” paparnya.

Besarnya jumlah kerugian ekologis yang ditimbulkan menjadikan kasus timah sebagai kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar di Indonesia.

Padahal, secara kerugian ekonomis, kasus timah sebenarnya tidak lebih besar dari kasus BLBI, kasus Duta Palma dan kasus TPPI.

Maka itu, sebaiknya evaluasi itu hanya dilakukan ke Mahkamah Agung, tapi Kejaksaan Agung. Evaluasi Mahkamah Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Sementara evaluasi terhadap Kejaksaan Agung bisa dilakukan oleh Presiden dan DPR RI. Ceppy Febrinika Bachtiar