Tipiring On the Street: Satpol PP Bandung Gerakkan Hukum hingga ke Jalanan

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Rabu pagi, 28 Mei 2025, halaman Kantor Satpol PP Kota Bandung di Jalan Martanegara tampak lebih ramai dari biasanya. Namun bukan karena aksi demonstrasi atau kegiatan rutin pemerintahan, melainkan karena digelarnya sidang tindak pidana ringan (tipiring) di ruang terbuka, langsung di hadapan publik.

Sebanyak 38 pelanggar dihadirkan untuk disidangkan atas berbagai pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung. Mereka terjerat kasus mulai dari peredaran minuman keras ilegal, obat-obatan terlarang, hingga perbuatan asusila di ruang publik. Tidak ada tirai yang menutupi proses, tidak ada ruang eksklusif di balik gedung pengadilan — hukum benar-benar hadir di jalanan.

Efek Jera dari Jalan ke Masyarakat

“Inilah wajah baru penegakan Perda: transparan, langsung, dan menyentuh masyarakat, tanpa harus mengganggu layanan harian Satpol PP,” ujar Henry Kusuma, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Satpol PP Kota Bandung, kepada awak media.

Henry menjelaskan bahwa sidang terbuka ini bukan sekadar pertunjukan kekuasaan negara. Ini adalah cara mengembalikan hukum pada akarnya: menjadi instrumen pembelajaran dan pengingat publik.

Baca juga:  Pulau Jawa adalah Paku atau Penguat Tiga Lempengan Dunia

Vonis yang dijatuhkan memang tidak menggetarkan: denda Rp100 ribu hingga Rp200 ribu untuk pelanggar asusila, dan Rp2 juta hingga Rp3 juta bagi pedagang minol ilegal. Namun dalam konteks penegakan hukum daerah, inilah bagian dari upaya menciptakan budaya disiplin kolektif.

Dasar Hukum Kuat, Niat Pemerintah Tegas

Penindakan ini mengacu pada Perda Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2019 tentang Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Perlindungan Masyarakat. Beberapa pasal yang digunakan antara lain:

Pasal 17 ayat (1): Pelarangan segala bentuk dorongan atau fasilitas untuk melakukan perbuatan asusila.

Pasal 21 dan 25: Larangan berdagang di tempat terlarang serta menjual minol tanpa izin.

Pasal 55: Ancaman pidana maksimal tiga bulan atau denda Rp50 juta bagi pelanggar.

Namun, aturan tanpa pengawasan adalah fatamorgana hukum. Oleh karena itu, Pemkot Bandung kini tengah menyusun dua kebijakan pendukung:

1. Keputusan Wali Kota tentang Wasdal Minol, turunan dari Perda Nomor 10 Tahun 2024.

2. Penguatan aturan yustisi, agar Satpol PP memiliki pijakan yuridis yang lebih kuat dalam penindakan.

Baca juga:  Bazaar Unik Bayar Pakai Sampah di Great Bandung 2024 ramaikan HJKB 214

“Langkah ini tidak berdiri sendiri,” kata Henry. “Kami bekerja bersama Disdagin dan unsur lain agar pengawasan minuman beralkohol dan pelanggaran sosial lainnya tak hanya ditindak, tetapi dicegah sejak hulu.”

Tipiring Bukan Akrobat Politik, tapi Instrumen Edukasi

Tentu saja, sidang jalanan bukan tanpa kritik. Beberapa pihak menilai tipiring on the street bisa menjurus ke “pengadilan jalanan” yang mempermalukan warga kecil. Namun, dalam konteks Kota Bandung yang sedang berupaya keras memulihkan wajah ruang publik dari pelanggaran sosial, cara ini dipandang sebagai langkah taktis sekaligus simbolis.

Pertanyaannya bukan soal besar kecilnya denda, tapi apakah masyarakat mulai menyadari bahwa hukum hidup di sekitar mereka — bukan di balik meja hakim atau kantor legislatif.

Bandung yang Tertib adalah Bandung yang Adil

Dengan eskalasi peredaran minuman keras ilegal, obat-obatan berbahaya, dan pergeseran nilai moral di ruang publik, upaya preventif, edukatif, dan represif perlu berjalan berdampingan. Satpol PP Bandung, dengan segala keterbatasannya, sedang mencoba menampilkan wajah hukum yang lebih dekat dan terasa nyata.

Baca juga:  Babinsa Kelurahan Kauman Bersama Poktan Maju Makmur I Gotong Royong Bersihkan Sumber Air

Karena sejatinya, penegakan hukum daerah bukan soal menakut-nakuti rakyat, tapi menyadarkan bahwa keteraturan adalah hak bersama.