Theodora Athia Salim: Gadis 15 Tahun yang Menyanyikan “Indonesia Raya” untuk Pertama Kalinya

Avatar photo

Porosmedia.com – Riuhnya peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober, perhatian kita kerap terfokus pada tiga butir ikrar monumental yang menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air. Namun, satu babak penting dalam sejarah Kongres Pemuda II 1928 sering luput dari sorotan: siapa yang pertama kali menyanyikan lagu Indonesia Raya?

Jawabannya bukan sembarang tokoh. Ia bukan orator, bukan pemimpin organisasi besar, apalagi pejabat. Ia adalah seorang remaja perempuan berusia 15 tahun—Theodora Athia Salim, atau lebih dikenal sebagai Dolly Salim, putri dari tokoh pergerakan nasional dan pendiri Sarekat Islam, Haji Agus Salim.

Tanggal 28 Oktober 1928, Gedung Indonesische Clubhuis di Jalan Kramat Raya 106, Batavia (kini Jakarta Pusat), menjadi saksi sejarah lahirnya Sumpah Pemuda dan diperdengarkannya untuk pertama kali lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di sanalah WR Supratman memainkan biola legendarisnya, mengalunkan nada-nada yang kelak akan menggetarkan jutaan dada rakyat Indonesia. Tapi siapa yang melantunkan syairnya?

Dalam sebuah momen yang nyaris tidak terdokumentasikan secara resmi, seorang peserta kongres menyarankan agar lagu yang baru saja dimainkan itu dinyanyikan oleh hadirin. Maka dipanggillah Dolly Salim—tanpa pemberitahuan sebelumnya, tanpa latihan, tanpa teks di tangan.

Baca juga:  Orang Eropa menyebutnya Lombok, orang Bali menjulukinya Selaparang, Mereka lebih suka disebut Sasak

“Dolly, satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 2.

Dolly hadir di Kongres Pemuda II sebagai delegasi dari National Indonesische Padvinderij (Natipij), organisasi kepanduan di bawah naungan Jong Islamieten Bond (JIB), tempat sang ayah kala itu menjadi penasihat. Meski awalnya sempat menolak karena merasa belum layak secara usia untuk menyandang predikat “pemuda”, Dolly akhirnya ikut serta dalam kongres yang kemudian mengukir sejarah besar itu.

Saat tiba waktunya lagu Indonesia Raya diperdengarkan secara penuh, Supratman—yang sadar akan ancaman dari pemerintah kolonial Belanda—menyampaikan peringatan.

“Saudara-saudara, lagu ini kita ucapkan dengan perkataan mulia, walau kita tahu sama tahu soal ini,” kata Supratman sebagaimana dikenang Dolly.

Kata “merdeka” dalam syair asli dianggap terlalu provokatif kala itu. Maka untuk menyiasatinya, digantilah menjadi “mulia”. Dolly menyanyikannya dengan lantang dan sepenuh hati:

“Indones… Indones… mulia… mulia!”

Gedung itu pun bergemuruh oleh tepuk tangan. Di balik gaung lagu yang akan menjadi simbol perjuangan nasional, berdirilah seorang remaja perempuan—tenang, berani, dan tanpa ragu. Ia tak hanya menyuarakan nada, tapi juga harapan dan cita-cita bangsa.

Baca juga:  Usai liburan Idul Fitri, Farhan: Bandung tetap Tertib dan Aman

Dolly Salim bukan hanya bagian dari sejarah. Ia adalah suara pertama dari Indonesia Raya. Namun dalam narasi-narasi besar tentang Sumpah Pemuda, namanya jarang disandingkan dengan tokoh-tokoh pria yang mendominasi panggung sejarah. Padahal, kontribusinya bukan sekadar simbolis. Ia menyuarakan semangat kemerdekaan dengan nyanyian, ketika suara perempuan masih jarang mendapat tempat di ruang-ruang publik perjuangan.

Sejarah mungkin mencatatnya dalam kalimat-kalimat kecil, tetapi perannya tak layak diremehkan. Di usia yang begitu belia, Dolly mewakili keberanian generasi muda, sekaligus menunjukkan bahwa perempuan bukan pelengkap sejarah—mereka adalah pelaku utamanya.

 

Editor: Beny Rusmawan
Sumber utama: Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 2 – Rosihan Anwar