Porosmedia.com, Cirebon – Tragedi longsor di area pertambangan Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, kini memantik tindakan tegas dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Setelah melewati evaluasi menyeluruh, Gubernur Jabar resmi mencabut izin usaha pertambangan (IUP) milik Koperasi Konsumen Pondok Pesantren Al Ishlah — entitas yang selama ini mengelola kegiatan galian C di kawasan tersebut.
Pencabutan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 031.05/Kep.152-Rek/2025, yang juga membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi Pemanfaatan Lahan di seluruh wilayah Jawa Barat. Keputusan ini tak lepas dari sorotan publik atas lemahnya pengawasan pertambangan rakyat dan aktivitas berisiko tinggi yang mengabaikan keselamatan pekerja maupun warga sekitar.
Langkah ini mengacu pada berbagai regulasi, antara lain:
PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko,
PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan,
Peraturan BKPM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengawasan Perizinan,
Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2018 tentang Kaidah Pertambangan yang Baik,
serta Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2024 sebagai penyempurna tata kelola Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tambang.
Menyusul keputusan administratif dari Pemprov Jabar, Polda Jawa Barat bergerak cepat. Lokasi tambang di Gunung Kuda kini resmi dipasangi garis polisi (Police Line), menandai dimulainya fase investigatif serius yang akan mendalami potensi kelalaian dalam peristiwa maut tersebut.
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol. Hendra Rochmawan, S.I.K., M.H., memastikan penyidikan masih berlangsung intensif. Sejumlah pihak yang terlibat langsung dalam operasi tambang telah dipanggil dan diperiksa.
“Kami telah meminta keterangan dari beberapa saksi, termasuk Abdul Karim (Ketua Kepontren Al Azhariyah), Ade Rahman (Kepala Teknik Tambang), dua pekerja lapangan yakni Ali Hayatullah dan Kadi Ahdiyat, serta sopir truk Arnadi dan pembeli material bernama Sutarjo,” jelas Hendra dalam keterangannya, Sabtu (31/05/2025).
Kepolisian menegaskan bahwa proses hukum tidak akan berhenti pada pencabutan izin saja. Jika ditemukan unsur pidana kelalaian atau pelanggaran terhadap UU Pertambangan dan Ketenagakerjaan, para pihak yang bertanggung jawab akan diproses lebih lanjut.
Peristiwa ini kembali membuka borok pengelolaan tambang rakyat yang sering kali berlindung di balik legalitas administratif, namun abai terhadap aspek teknis keselamatan dan tanggung jawab sosial. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, banyak tambang rakyat justru menyisakan luka sosial, kerusakan lingkungan, dan kematian.
Kritik tajam diarahkan kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta instansi pengawas lingkungan yang dianggap lamban dalam melakukan audit lapangan. Di tengah tekanan ekonomi dan eksploitasi lahan yang kian liar, tragedi seperti di Gunung Kuda hanya soal waktu jika tak ada reformasi mendalam dalam tata kelola pertambangan daerah.
Publik harus terus mengawal proses hukum ini dan mendesak aparat serta pemerintah daerah tidak hanya menyentuh gejala, tetapi akar masalah dalam struktur perizinan dan pengawasan pertambangan di Jawa Barat.