Porosmedia.com, Bandung — Dari tangan-tangan cekatan para pengrajin, lahirlah narasi kebangsaan yang tak tertulis dalam buku sejarah: wastra. Di balik setiap helai tenun, sapuan warna batik, dan rajutan bordir, tersimpan filosofi, perjalanan leluhur, hingga strategi ekonomi bangsa. Inilah yang diangkat dalam Festival Swarna Wastra Nusantara yang digelar di Gedung Graha Manggala Siliwangi, Bandung, 28 Mei hingga 1 Juni 2025.
Dengan tiket masuk hanya Rp10.000, festival ini bukan sekadar ajang pameran kriya — ia adalah perayaan jati diri bangsa.
Budaya dan Ekonomi Tak Lagi Terpisah
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, dalam sambutannya menyatakan bahwa festival ini adalah bentuk nyata sinergi antara budaya, identitas, dan pertumbuhan ekonomi kreatif.
“Batik, bordir, dan tenun adalah warisan budaya yang telah melewati zaman. Dari tangan para pengrajin, lahir karya-karya yang bukan hanya indah, tapi juga penuh filosofi dan identitas bangsa,” tegasnya.
Sebagai bagian dari UNESCO Creative Cities Network, Bandung tidak hanya menjual mimpi kreatif, tapi benar-benar menyiapkan infrastruktur dan ekosistem pendukung: pelatihan, promosi, hingga insentif usaha mikro. Pemerintah Kota menyadari bahwa setiap motif wastra adalah peluang ekspor, dan setiap pengrajin adalah duta budaya.
Mengangkat Daerah Pinggiran ke Panggung Nasional
Festival Swarna Wastra Nusantara bukan festival elitis. Ia merangkul 96 peserta dari seluruh Indonesia, termasuk dari wilayah yang kerap dipinggirkan dalam arus utama ekonomi: NTT, Sumba Timur, Palembang, dan Tasikmalaya. Karya yang ditampilkan pun beragam: Tenun ikat, Batik klasik, Bordir etnik, hingga batu alam dan kosmetik buatan UMKM lokal.
Yuwono, Ketua Penyelenggara, menyebut bahwa banyak peserta baru dari kalangan UMKM yang pertama kali tampil di ajang besar. “Mereka perlu panggung, bukan sekadar bantuan,” ujarnya.
Salah satu tenant dari Sampang memamerkan batik tulis bermotif laut dan angin, menggambarkan kehidupan nelayan. Sementara dari Kalimantan hadir batu rimba yang dikemas dalam desain aksesori urban kekinian — simbol bahwa tradisi tak harus terperangkap masa lalu.
Bangga Pakai Produk Sendiri: Retorika atau Gerakan?
Ajakan untuk “bangga menggunakan produk lokal” sering kali menjadi jargon kosong yang tak menyentuh realitas. Namun di festival ini, pesan tersebut dijahitkan langsung ke dalam pengalaman: pengunjung bisa menyentuh, mengenakan, dan berdialog langsung dengan para perajin. Inilah bentuk edukasi konsumen yang autentik.
“Mari kita bangga dan mencintai karya anak bangsa. Jadilah konsumen yang memilih produk lokal, sekaligus duta budaya yang memperkenalkan Indonesia ke dunia,” seru Erwin.
Lebih dari itu, festival ini menggeser paradigma konsumen: dari pembeli pasif menjadi pendukung aktif ekosistem budaya. Setiap pembelian produk adalah bentuk penghargaan atas kerja keras, identitas lokal, dan kelangsungan budaya Indonesia.
Bandung dan Tanggung Jawab Kulturalnya
Sebagai kota kreatif, Bandung punya tanggung jawab lebih dari sekadar menjadi pusat fashion atau seni kontemporer. Ia harus menjadi simpul pertemuan antara tradisi dan inovasi, antara desa-desa pengrajin dengan pasar global. Dan Festival Swarna Wastra Nusantara telah menunjukkan bahwa jika diberi ruang, budaya bisa menjadi kekuatan ekonomi sekaligus alat diplomasi kultural.