Porosmedia.com, Bandung – Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap pengelolaan kawasan hunian modern, kasus di Apartemen The Suites Metro (TSM), Jalan Soekarno Hatta Bandung, menjadi gambaran telanjang tentang bagaimana warga “dipaksa” membayar tarif listrik di atas ketentuan resmi. Fakta ini mencuat dalam gugatan perdata yang kini tengah berjalan di Pengadilan Negeri Bandung, nomor perkara 497/Pdt.G/2024/PN. Bdg.
Di balik dinding apartemen yang menjulang, kisruh bermula dari keluhan warga atas kebijakan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (PPPRS) TSM yang menetapkan tarif listrik sebesar Rp 2.600/kWh — jauh melampaui Tarif Dasar Listrik (TDL) resmi R3 PLN yang hanya Rp 1.444,7/kWh. Angka ini bukan sekadar selisih nominal, melainkan soal keadilan, kewenangan, dan integritas dalam pengelolaan layanan dasar bagi masyarakat perkotaan.
Tanpa Izin, Berlaku Seolah Negara
Dalam persidangan terakhir yang digelar Senin, 17 Maret 2025, kuasa hukum warga, Badiaraja Leonardo Sitompul, kembali membeberkan bukti kuat bahwa PPPRS tidak memiliki izin usaha penyedia tenaga listrik (IUPTL) sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 31 Tahun 2015 dan diperkuat oleh PP No. 25 Tahun 2021. Jika mengacu pada regulasi tersebut, kegiatan menaikkan dan menjual tarif listrik tanpa izin bisa dikenai denda maksimal Rp 1 miliar.
Seorang pejabat dari Dinas ESDM Jawa Barat yang dihadirkan sebagai saksi mempertegas bahwa tarif listrik apartemen wajib mengikuti ketentuan resmi TDL PLN. Menurutnya, PPPRS bukan lembaga yang memiliki otoritas untuk menentukan tarif listrik — apalagi menjualnya dengan tambahan biaya yang tidak jelas dasar hukumnya.
Kebijakan yang Menyesatkan
Apa yang dilakukan oleh PPPRS TSM sejatinya adalah praktik semu berkedok “pengelolaan kawasan”. Mereka memasukkan biaya Penerangan Jalan Umum (PJU) sebesar 8%, serta fasos-fasum dan biaya lainnya, lalu menjualnya dalam satuan token listrik. Alhasil, total tarif melonjak menjadi Rp 2.600/kWh. Seorang saksi, yang juga Ketua PPPRS dari apartemen lain di Bandung, menyebut kebijakan ini sebagai “keliru dan merugikan secara kolektif”.
Menurutnya, komponen seperti PJU dan fasum seharusnya dibagi rata dalam bentuk Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) — bukan dimasukkan dalam tarif listrik. Ini bukan semata kesalahan teknis, melainkan pelanggaran prinsip pengelolaan layanan publik yang adil dan transparan.
Dulu Menolak, Kini Justru Menindas
Ironisnya, Ketua PPPRS saat ini, yang dulu dikenal vokal menolak kenaikan tarif listrik dari Rp 1.444,7/kWh ke Rp 1.800/kWh saat masih menjadi warga biasa, kini justru menjadi aktor utama kenaikan tarif menjadi Rp 2.800/kWh pada Januari 2023. Desakan keras warga membuat tarif diturunkan sedikit ke Rp 2.600/kWh, namun tetap di luar batas kewajaran dan hukum.
Lebih dari 200 warga telah menandatangani surat keberatan sejak Januari 2024. Ini menjadi bukti otentik bahwa praktik PPPRS telah menyalahi prinsip partisipatif dan keterbukaan yang seharusnya menjadi pilar organisasi penghuni apartemen.
Gagal Taat pada Mediasi, Abaikan Notulensi Resmi
Persidangan juga mengungkap fakta bahwa pengelola sebelumnya, PT Permata Margahayu Land (PML), sempat difasilitasi mediasi oleh Dinas ESDM pada Januari 2022. Mediasi tersebut memerintahkan tarif listrik dikembalikan ke TDL dan seluruh kelebihan pembayaran dikembalikan kepada warga. Tapi hasil mediasi tersebut tidak menjadi acuan bagi PPPRS baru — menunjukkan diskontinuitas kebijakan yang fatal dan merugikan warga.
Apa yang Sedang Kita Saksi?
Kasus ini bukan sekadar perseteruan antara pengurus dan penghuni. Ia menggambarkan kekosongan hukum dalam pengelolaan kawasan vertikal yang marak di kota-kota besar. Saat lembaga selevel PPPRS bisa bertindak layaknya negara kecil yang memungut dan menetapkan harga dasar hidup, maka kita patut bertanya: di mana negara berdiri?
Sidang lanjutan akan digelar setelah Idulfitri, pada Senin, 14 April 2025. Agenda utamanya: mendengar saksi dari pihak tergugat. Namun publik tak bisa menunggu terlalu lama — hukum harus berpihak kepada logika dan kepentingan rakyat. Pemerintah, PLN, dan ESDM tidak boleh lagi abai.
Jika ini dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan apartemen-apartemen lain akan meniru model “usaha listrik ilegal” berkedok pengelolaan mandiri. Sebuah ironi dalam negara hukum — di mana warga membayar lebih mahal dari harga yang ditetapkan negara.
–