Porosmedia.com, Jakarta – Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menuntut mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung, Ema Sumarna, dengan pidana penjara total sembilan tahun. Tuntutan ini menjadi sorotan tajam publik karena di tengah narasi pemberantasan korupsi, aktor birokrasi kembali menjadi tumbal tunggal dalam proyek besar yang melibatkan banyak pihak: Bandung Smart City.
Tuntutan yang dijatuhkan kepada Ema Sumarna terdiri dari pidana pokok enam tahun enam bulan penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp676,75 juta. Apabila uang pengganti tidak dibayar dalam waktu enam bulan setelah perkara inkrah, harta miliknya akan disita untuk dilelang, atau ia akan menjalani tambahan hukuman dua tahun penjara.
Dalam persidangan yang berlangsung selama dua jam lebih, Penuntut Umum KPK menjelaskan bahwa Ema Sumarna dianggap telah menyuap dan memberikan gratifikasi kepada empat mantan anggota DPRD Kota Bandung—Riantono, Yudi Cahyadi, Ahmad Nugraha, dan Ferry Cahyadi—guna melancarkan anggaran proyek Bandung Smart City. Namun ironisnya, justru penerima suap yang posisinya turut menentukan jalannya kebijakan, dituntut lebih ringan pada sidang terpisah.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah hukum di Indonesia telah menjelma menjadi panggung yang berat sebelah, di mana yang menyuap dihukum berat sementara yang menerima cukup bernafas lega?
Menurut pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Dr. R. Bayu Prasetyo, “Sistem hukum kita masih menganut asas delik materiil. Tapi dalam praktiknya, banyak kasus korupsi besar justru berujung pada ketimpangan perlakuan. Seolah hanya pencatat anggaran atau pengusul teknis yang dituding pelaku utama, padahal fungsi pengawasan dan penyetujuan politik sering luput dari jerat tegas.”
Pihak kuasa hukum Ema, Rizky Rizgantara, menyampaikan bahwa tuntutan KPK tidak mencerminkan fakta persidangan. Ia menegaskan bahwa saksi kunci dalam sidang, yaitu mantan Kadishub Kota Bandung, Dadang Darmawan, menyatakan tak pernah menerima perintah langsung maupun tidak langsung dari Ema Sumarna untuk menyuap anggota DPRD.
“Yang bersangkutan juga tidak pernah memerintahkan bawahannya, Khairul Rijal, untuk berkomunikasi atau memberikan uang kepada anggota dewan,” ujar Rizky. Ia juga menyebut bahwa jaksa mengabaikan keterangan penting tersebut dan malah membangun narasi hukum sepihak.
Bandung Smart City awalnya didengungkan sebagai upaya modernisasi pelayanan publik berbasis teknologi. Namun dalam praktiknya, proyek ini justru menjadi lahan bancakan dan korupsi berjamaah, mencerminkan bahwa digitalisasi tanpa transparansi hanya akan mengubah bentuk korupsi, bukan melenyapkannya.
Kerugian negara dalam proyek ini ditaksir mencapai lebih dari Rp1 miliar. Meski nilai tersebut belum seberapa dibanding mega skandal lain di tingkat nasional, dampaknya terhadap kepercayaan publik jauh lebih besar. Kota Bandung, yang selama ini dibanggakan sebagai pusat inovasi perkotaan, kini tercoreng akibat intrik politik anggaran yang busuk dan manipulatif.
Skandal ini membuka ruang diskusi publik tentang beberapa hal:
1. Mengapa penerima suap tidak mendapat hukuman yang setara atau bahkan lebih berat?
2. Apa peran DPRD dalam skema korupsi anggaran ini dan sejauh mana mereka diselidiki serius oleh KPK?
3. Mengapa program sebesar Smart City tidak memiliki sistem audit dan kontrol transparan sejak awal?
Ini bukan hanya tentang Ema Sumarna. Ini tentang sistem yang cacat secara struktural, di mana akuntabilitas politik dan birokrasi berjalan di dua jalur berbeda.
Apapun hasil akhirnya, kasus ini akan menjadi preseden penting. Jika Ema Sumarna terbukti bersalah, hukuman harus dijalankan. Namun keadilan tidak berhenti di satu nama. Jika pelaku di sisi legislatif hanya dihukum ringan, maka bangsa ini sedang menormalisasi peran pasif dalam korupsi aktif.
Bandung butuh lebih dari sekadar sistem pintar—ia butuh pejabat yang jujur, wakil rakyat yang bersih, dan aparat penegak hukum yang konsisten. Jika tidak, Bandung Smart City akan tetap canggih di layar monitor, tapi bobrok dalam lumbung anggaran.