Setelah Pesta Demokrasi

alih-alih menjadi pemimpin bangsa, pemimpin ‘abal-abal’ ini justru menjadi partisan, yang terseret arus kepentingan kelompok bahkan keluarga di atas kepentingan bangsa

Avatar photo

Oleh: Yasraf A. Piliang
Pemikir sosial dan kebudayaan ITB

Porosmedia.com – Pesta demokrasi pemilihan presiden (pilpres) 2024 sudah hampir usai. Anak bangsa sudah menggunakan hak suaranya, dengan memilih calon presiden dan wakil presiden sesuai aspirasi mereka. Kini, semua tengah mengikuti dengan harap-harap cemas hasil perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta menunggu hasil pemenangnya. Di pikiran mereka tergambar sosok pemimpin baru, yang mampu membawa kemajuan dan perubahan bangsa ke depan.

Tentu, pesta demokrasi tak sekadar proses elektoral memilih calon pemimpin di bilik suara, sebagai artikulasi daulat rakyat. Lebih dari itu, pesta demokrasi sejatinya adalah refleksi mendalam tenunan kultur, pengalaman, keyakinan, nilai dan jiwa demokrasi yang tengah dirajut. Pertanyaannya adalah, apakah pesta demokrasi yang telah digelar artikulasi dari jiwa demokratis kebebasan, keterbukaan, kejujuran, kepercayaan dan akuntabilitas, atau sebaliknya?

Gelombang penolakan, protes, keluhan, keberatan, dan demonstrasi terkait penyelenggaraan pilpres 2024 menjadi penanda dari pesta demokrasi yang jauh dari jiwa demokrasi. Tuduhan terhadap presiden Jokowi yang partisan, merekayasa aturan hukum dan menyalahgunakan otoritas demi memenangkan salah satu paslon; tuduhan terhadap KPU yang tak terbuka, tak kompeten, diskriminatif, dan manipulatif, menandai rendahnya kualitas demokrasi—a theatre of democracy.

Demokrasi Abad Tontonan Kualitas pemilu cermin kualitas demokrasi, yang menentukan masa depan bangsa. Untuk itu, sebuah refleksi diperlukan: apakah pemilu mampu membentuk kultur demokrasi, memperkaya kualitas demokrasi, dan mengangkat nilai-nilai demokrasi, atau sebaliknya? Ibarat gunung es, pemilu sejatinya tak hanya perkara tampak permukaan demokrasi—prosedur dan proses elektoral—tetapi juga tampak dalam: jiwa, ruh, karakter, ideologi, norma, nilai dan makna demokrasi.

Pemilu langsung sejak tahun 2004 sebagai amanah reformasi—telah mengubah tak saja prosedur demokrasi, tetapi ‘jiwa’ demokrasi. Tidak saja sistem demokrasi perwakilan ditukar sistem pemilihan langsung, tetapi jiwa ‘permusyawaratan’ berakar Pancasila diganti jiwa ‘individualisme’ berakar Liberalisme. Sistem pemilihan langsung adalah pengkhianatan terhadap Pancasila, dengan meminggirkan permusyawaratan dan merayakan ‘individualisme’—individual vis-à-vis individual.

Baca juga:  Koalisi Partai Non Parlemen Menilai Rizki Akbar Fatoni dari Partai Golkar layak jadi Calon Wali Kota Bandung

Akibatnya adalah ‘individualisasi’ institusi, partai, gagasan, perilaku, proses atau masyarakat politik, dengan merayakan hak, kebebasan dan kepentingan ‘individu’ di atas kepentingan masyarakat bangsa.

Padahal Pancasila mengajarkan keseimbangan antara nilai individu (kebebasan, kemanusiaan) dan nilai komunitas (keadilan, keadaban, kerakyatan, permusyawaratan). Artinya, nilai individu ‘mengalahkan’ nilai sosial, jiwa individualitas mengalahkan jiwa komunalitas (Sandel, 1984).

Bila dulu kita mencoblos representasi komunitas (lambang partai), kini kita mencoblos representasi individu (foto paslon), dengan akibat terkikisnya nilai komunitas oleh nilai individu. Ini yang mendorong cara-cara budaya populer dalam politik: merayakan citra permukaan (simbol, pakaian, gestur, bahasa tubuh, gimmick) dengan meminggirkan jiwa demokrasi (pengetahuan, kapasitas, kapabilitas, kepemimpinan). Citra individu calon pemimpin dipercaya sebagai ‘kebenaran’ ketimbang realitas dirinya: inilah ‘hiper-realitas politik’ (Baudrillard, 1981).

Penggunaan cara-cara budaya populer dalam politik menggiring pendangkalan ideologi. Gagasan ideologis substansial kemanusiaan, kebebasan, keadaban, keadilan, kesejahteraan, digantikan gagasan-gagasan banal demi popularitas. Maka, pemimpin atau calon pemimpin blusukan di gorong-gorong, got atau selokan diliput televisi demi citra sederhana, merakyat, ndeso dan bersahaja. Atau, presiden bagi-bagi sembako atau makan siang gratis demi citra dermawan, solider dan murah hati (Adorno, 1991; Fiske, 1989).

Angka tak saja ukuran kebenaran, tetapi memiliki kekuatan psikologis mengarahkan persepsi: jajak pendapat, survei, quick count. Inilah ‘tirani angka’: kita dibuat percaya, bahwa angka cermin realitas. Karenanya, angka rawan dimanipulasi demi citra. Hasil perhitungan cepat pemilu yang intensif ditampilkan KPU di layar televisi memberikan efek instan citra ‘kemenangan,’ untuk menggiring opini publik, dengan menyembunyikan fakta sesungguhnya di balik angka-angka itu (Badiou, 2005).

Akibatnya, panggung politik menjelma panggung teater, yang di atasnya dipertunjukkan teater-teater pencitraan, dengan aktor-aktor politik dipoles melalui kemasan citra permukaan untuk mendongkrak popularitas. Masyarakat politik—yang di dalamnya dibangun kesadaran politik, dengan mengangkat dan mendiskusikan aneka isu politik—kini menjelma ‘masyarakat tontonan.’ Di dalamnya, segala dimensi dan isu politik substansial diganti kemasan citra, dan menggiring massa untuk menerima citra itu sebagai kebenaran (Debord, 1981).

Baca juga:  5 Masalah Demokrasi yang Harus Cepat Ditangani Sebelum Pemilu 2024

Merawat Demokrasi

Merefleksikan penyelenggaraan pilpres 2024, tak ada pelajaran berharga apa pun yang dapat ditarik darinya, selain tergerusnya jiwa demokrasi oleh panggung tontonan manipulasi angka, citra, tampilan: jajak pendapat, hitung cepat, bantuan sosial, makan gratis. Layaknya gunung es, tampak permukaan pilpres 2024 terlihat jernih, aman, lancar dan damai, tapi tampak dalamnya sangat gelap, karena dicurigai menyimpan tumpukan kotoran, sampah dan racun keadaban politik—the dirty vote.
Pilpres 2024 tak menyumbang apa pun bagi peningkatan kualitas demokrasi, penghayatan nilai-nilai demokrasi dan pengayaan pengalaman berdemokrasi.

Yang tersisa hanyalah penurunan kualitas, penggerusan nilai dan pemiskinan jiwa demokrasi. Kini, proses demokratisasi yang dibangun di atas darah para pejuang reformasi, tanpa rasa malu dan rasa berdosa telah dikhianati. Ada banyak tembok penghalang proses demokratisasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru, yang mengarah pada kemunduran demokrasi menuju de-demokratisasi (Cunningham, 2002; Dahl, 2000; Tilly, 2007). Pertama, hilangnya otonomi, kemandirian dan kedaulatan negara dalam pelaksanaan proses demokrasi.

Di sini, segala sumber-daya, dokumen, data dan informasi strategis dan rahasia negara tidak boleh diakses oleh kekuatan-kekuatan asing, serta harus dikelola mandiri oleh negara. Pada pilpres 2024, KPU—atas restu presiden Jokowi—justru membuka akses strategis dan rahasia itu kepada kekuatan asing. Ini adalah pengkhianatan terhadap kedaulatan negara.

Kedua, munculnya ‘kekuasaan terpusat’, tanpa diimbangi oposisi yang kuat, dan diperparah oleh pelemahan sistematis masyarakat sipil, sebagai kekuatan kontrol akar rumput. Sehingga, kekuasaan cenderung memaksa dan represif, disertai ancaman, intimidasi, pengerahan preman dan kekerasan. Kekuatan terpusat ini cenderung berwatak otoriter karena dilindungi oleh kekuatan militer dan kepolisian, yang rela melanggar sumpah prajurit demi keuntungan sesaat.

Baca juga:  dengan Tagline, Gasskeun Jabar Istimewa : Kang Dedi dan Kang Erwan diindikasi Dipasangkan di Pilkada Jabar 2024

Ketiga, belum tumbuhnya budaya politik demokratis, karena tingkat pendidikan mayoritas masyarakat yang rendah, dan buruknya pendidikan politik. Kondisi ini menggiring pada ‘irasionalitas demokratis’, di mana pemilihan langsung menghasilkan ‘tirani mayoritas.’ Tetapi, golongan mayoritas ini justru para pemilih berpendidikan rendah, minim informasi dan kurang daya kritis, sehingga rawan menjadi sasaran manipulasi pencitraan politik.
Keempat, tidak terintegrasinya jaringan kepercayaan inter-personal ke dalam politik, khususnya kepercayaan rakyat terhadap penguasa dan aparat-aparat negara. Celakanya, tingkat kepercayaan terhadap pemerintah sering dimanipulasi melalui permainan survei dan angka statistik.

Tergerusnya kepercayaan ini tampak setidaknya dalam penyelenggaraan pilpres 2014, 2019 dan 2024 yang dinilai tak terbuka, transparan dan akuntabel.
Kelima, mengerasnya konflik-konflik budaya, agama dan etnis yang tak bisa dikendalikan, yang melebar menjadi bagian konflik politik. Sistem pemilu langsung—yang mengondisikan mengerucutnya pasangan calon presiden pada dua atau tiga pasangan—mengeraskan pertarungan bahkan permusuhan antar konstituen, berujung polarisasi masyarakat. Dalam hal ini, tidak ada sistem manajemen konflik yang diinisiasi negara, karena negara justru menjadi bagian polarisasi ini

Keenam, pemerintahan yang tak-efektif, karena dipimpin oleh pemimpin ‘kualitas rendah,’ sebagai produk dari proses demokrasi tontonan yang merayakan kemasan citra ketimbang kapasitas, kapabilitas dan kepemimpinan. Karena tak memiliki jiwa negarawan, alih-alih menjadi pemimpin bangsa, pemimpin ‘abal-abal’ ini justru menjadi partisan, yang terseret arus kepentingan kelompok bahkan keluarga di atas kepentingan bangsa.

Merawat demokrasi ke depan adalah dengan meruntuhkan tembok-tembok penghalang: menegakkan kembali kedaulatan negara, mengendalikan kekuasaan terpusat, meredam polarisasi bangsa, meningkatkan rasionalitas dan melek-politik, mengembangkan sistem pemilu berbasis kapasitas, merajut kembali jaringan kepercayaan inter-personal. Ketidakmampuan merobohkan tembok-tembok penghalang, akan membawa bangsa ‘terpeleset di kulit pisang yang sama’: panggung teater demokrasi yang menghasilkan pemimpin abal-abal! [ ]