Porosmedia.com – Ia tak menulis syair. Ia tak punya tinta. Tapi kisah hidupnya adalah puisi yang ditulis Allah langsung di atas luka dan air mata.
Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu.
Sahabat Nabi, pemilik raga yang tak bisa lagi menyentuh tanah. Namun hatinya setiap malam menyentuh langit.
Ia terbaring. Lemah. Luka-luka di tubuhnya tak juga sembuh. Hari demi hari, bulan, bahkan tahun berlalu. Tapi tikarnya tetap menjadi ranjang satu-satunya.
Apa yang tersisa dari tubuhnya hanyalah rasa sakit. Tapi ia tidak mengeluh meski sudah 30 tahun lamanya menderita. Karena ia tahu, Allah sedang menulis sesuatu yang indah lewat deritanya.
Malam-malamnya tak sunyi. Ada langkah-langkah lembut yang tak tampak mata, ialah Malaikat.
Mereka datang. Membawa kesejukan. Mengusap hatinya. Menemani sepi yang tak pernah dimengerti manusia lain.
Setiap luka di tubuhnya, seperti mengetuk pintu langit… Dan langit pun membalas, dengan kedatangan makhluk-makhluk suci yang membuat dunia serasa surga.
Tapi… Ia hanya manusia. Ia rindu untuk bangkit. Rindu untuk duduk. Rindu untuk berjalan.
Lalu ia memohon kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, doakan aku agar sembuh dari sakit ini.”
Dan Rasulullah pun mendoakannya. Tubuhnya kembali kuat. Kakinya kembali berdiri. Tangannya kembali menggenggam dunia…
Tapi hatinya kosong, penuh dengan kehampaan, seperti ada sesuatu yang hilang. Dan ada rasa rindu untuk selalu bertemu dengan mereka.
Karena… Malaikat itu tak lagi datang. Malam-malamnya kembali gelap. Bukan karena langit kehilangan bintang, tapi karena hatinya kehilangan cahaya dari langit.
Ia menangis… Bukan karena sakit. Tapi karena ia rindu disapa oleh yang datang dari langit, oleh para malaikat yang dulunya menghibur saat tubuhnya remuk oleh luka.
la sembuh… Tapi ia kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar kesehatan: rasa dekat dengan Allah.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat… Maka tak ada lagi tangan yang bisa ia minta untuk memohonkan doa.
Tak ada lagi pelukan Nabi yang bisa menguatkan. Lalu ia menengadah…
“Ya Allah…Jika dengan sakit aku lebih dekat dengan-Mu…Jika dengan luka aku bisa lebih merindukan surga-Mu…Jika dengan derita aku ditemani malaikat-Mu…Maka kembalikanlah sakit itu…Aku rela. Aku ikhlas. Aku rindu…”
Dan Allah mendengar.
la kembali terbaring. Tubuhnya kembali penuh luka. Tapi kali ini, hatinya lapang. Karena hatinya telah sampai pada tempat yang tak bisa digapai oleh siapa pun, kecuali mereka yang diuji dengan sabar dan cinta.
Dan malaikat pun kembali. Menemani. Menyapa. Mendoakan. Inilah cinta yang tak tertukar. Cinta yang tak apa, selain untuk berserah.
Sumber: Sahih Muslim dan Siyar A‘lam An-Nubala’ – Imam Adz-Dzahabi (vol. 3, hlm. 295)