Porosmedia.com – Selama hampir dua dekade, Indonesia terus berbicara tentang pemberantasan korupsi. Namun selama itu pula, satu instrumen hukum paling penting untuk memiskinkan koruptor justru tak pernah benar-benar lahir: Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. RUU ini sudah diusulkan sejak 2008, masuk–keluar Prolegnas, dibahas–dibekukan, dan terus digeser seolah menjadi “tamu tak diundang” di meja legislasi.
Pertanyaannya sederhana: mengapa RUU yang begitu penting bagi publik justru menjadi RUU yang paling sulit disahkan?
Jawabannya tidak sesederhana perdebatan teknis. Ada lapisan-lapisan persoalan yang menunjukkan bahwa penundaan RUU ini bukan hanya soal aturan hukum—tetapi soal politik, kekuasaan, dan keberanian moral negara dalam menghadapi kejahatan kerah putih.
1. Kekhawatiran terhadap Paradigma Non-Conviction Based: Ketakutan atau Kehati-hatian?
Salah satu dalih utama penundaan adalah kekhawatiran bahwa RUU Perampasan Aset berpotensi bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.
Padahal, paradigma perampasan aset tanpa menunggu vonis pidana (non-conviction based) telah diterapkan di banyak negara sebagai langkah efektif memutus aliran aset ilegal.
Kekhawatiran itu memang sah untuk dibicarakan—hak warga negara harus dijaga. Namun, yang juga perlu dibahas adalah:
Apakah benar kekhawatiran ini murni soal HAM, atau justru ada pihak yang tidak ingin rekening “bersih-bersih” terlalu cepat?
2. Kekhawatiran Pasal Karet: Alasan Teknis atau Kekhawatiran Politik?
RUU ini dituding berpotensi menjadi “pasal karet”, dapat disalahgunakan, atau menjadi alat politik.
Keraguan semacam ini valid—Indonesia pernah belajar dari pengalaman. Namun kritik publik kemudian muncul:
Jika negara mampu membuat sistem penyadapan yang ketat, mengapa tidak mampu menyusun mekanisme pengamanan untuk perampasan aset?
Ketakutan “alat politik” sering kali lebih terdengar seperti refleksi dari ketidakpercayaan internal, bukan alasan substansial untuk menunda.
3. Minimnya Komitmen Politik: RUU Penting yang Tidak Pernah Dianggap Penting
RUU Perampasan Aset nyaris selalu menjadi korban tarik-menarik kepentingan politik.
Ia masuk Prolegnas hanya untuk didorong ke pinggir, lalu kembali dibahas hanya untuk ditunda lagi.
Bukan rahasia bahwa sejumlah kalangan menduga, ada pihak yang merasa terancam bila aset hasil kejahatan dapat dirampas tanpa menunggu vonis panjang bertahun-tahun.
RUU ini bukan sekadar regulasi—ia instrumen yang bisa memiskinkan koruptor, bukan hanya memenjarakannya.
Ketika sebuah RUU yang melindungi uang negara justru tidak mendapat prioritas, publik wajar bertanya:
Siapa sebenarnya yang diuntungkan jika RUU ini terus diperlambat?
4. Dalih Kehati-hatian dalam Penyusunan Draf: Lahirnya Alasan Baru Setiap Tahun
Setiap masa sidang, alasan yang sama selalu kembali:
“Draf harus disempurnakan”,
“Harus diselaraskan dengan KUHAP”,
“Pembahasan menunggu RKUHAP”.
Kehati-hatian tentu penting. Tetapi ketika alasan teknis terus berulang selama 17 tahun, publik dapat membaca polanya: ini bukan lagi kehati-hatian—ini penundaan sistemik.
5. Masalah Teknis dan Koordinasi: Persoalan Nyata, Tetapi Tidak Layak Menjadi Alasan Mandek
RUU ini membutuhkan koordinasi lembaga-lembaga negara, mulai dari aparat penegak hukum hingga instansi pengelola aset.
Memang benar: sistem pengelolaan aset sitaan kita selama ini tidak terintegrasi.
Tetapi justru karena itu RUU ini dibutuhkan.
Tidak logis bila masalah teknis dijadikan alasan untuk menunda undang-undang yang justru ditujukan untuk mengatasi masalah itu.
RUU Perampasan Aset: Urgensi yang Tidak Boleh Ditawar
Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi bisa mencapai triliunan rupiah per tahun.
Tanpa mekanisme perampasan aset yang kuat, negara hanya menghukum pelaku, tetapi membiarkan keuntungan kejahatan tetap berpindah tangan.
RUU ini penting bukan hanya untuk menghukum, tetapi untuk mengembalikan uang negara dan menutup ruang koruptor menikmati hasil kejahatannya.
RUU ini bukan hanya soal hukum—ini soal keberanian politik.
Dan keberanian itu, sejauh ini, belum terlihat.
Jika Negara Bersungguh-sungguh, RUU Ini Tidak Akan Menunggu 17 Tahun
Penundaan RUU Perampasan Aset mengungkap satu kenyataan:
selama kejahatan kerah putih masih dilihat sebagai kejahatan yang “lunak”, regulasi yang mengancam kepentingan elite akan selalu tertahan.
Publik menunggu komitmen nyata.
Bukan janji, bukan pernyataan, bukan lagi alasan teknis.
Jika komitmen pemberantasan korupsi benar-benar ada, maka 17 tahun adalah lebih dari cukup.
Saatnya negara membuktikan bahwa keberpihakan terhadap kepentingan publik lebih kuat daripada kepentingan siapa pun yang takut kehilangan aset “tak jelas asal-usulnya”.







