Runtuhnya Tiga Kebun Binatang Tertua di Indonesia: Mafia Berkedok Konservasi?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Di balik sejarah panjang tiga kebun binatang tertua di Indonesia — Surabaya, Solo, dan Bandung — tersimpan kisah kelam tentang konflik pengelolaan, peralihan kepemilikan, hingga dugaan praktik penyimpangan di balik dalih “konservasi satwa”. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah lembaga konservasi di Indonesia benar-benar dijalankan demi pelestarian, atau sekadar topeng bagi bisnis besar berbasis satwa?

1. Kebun Binatang Surabaya (KBS): Dari Warisan Kolonial ke Arena Sengketa

Kebun Binatang Surabaya (KBS) berdiri pada 31 Agustus 1916 atas prakarsa jurnalis H.F.K. Kommer dengan nama Soerabaiasche Planten-en Dierentuin (Kebun Botani dan Kebun Binatang Surabaya). Awalnya berlokasi di Jalan Kaliondo, lalu berpindah ke Jalan Darmo pada 1920 di atas lahan milik perusahaan kereta api Oost-Java Stoomtram (OJS).

Pada 11 Mei 1923, dibentuk Perkumpulan Kebun Binatang Surabaya, dengan W.A. Hompes menggantikan J.P. Mooyman sebagai pengurus. Namun, sejak tahun 2000, KBS terjerat konflik internal yang panjang. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan kala itu mencabut izin lembaga konservasinya dan menunjuk Tim Pengelola Sementara (TPS) beranggotakan Balai Besar KSDA Jawa Timur, Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI), dan Pemerintah Kota Surabaya.

Sekretaris Jenderal PKBSI saat itu, Tony Sumampau dari Taman Safari Indonesia (TSI), dipercaya memimpin tim pengelola.
Namun pada 2012, Pemkot Surabaya mengambil alih penuh pengelolaan setelah muncul laporan adanya perpindahan 420 ekor satwa dari KBS ke sejumlah lembaga konservasi lain, termasuk ke TSI Prigen dan Taman Hewan Siantar.

Catatan publik menunjukkan, sedikitnya 170 satwa berpindah ke Taman Hewan Siantar yang kala itu dikelola oleh Rahmat Shah, Ketua Umum PKBSI.
Kasus perpindahan satwa ini masih meninggalkan jejak digital dan menjadi sorotan publik hingga kini — dapat ditelusuri melalui arsip daring sejak tahun 2000-an.

Baca juga:  Deklarasi Bahasa Sunda ; Revisi Perda No 14 Tahun 2014

Pada Juli 2012, status hukum KBS resmi berubah menjadi Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya (PDTS KBS) berdasarkan Perda Kota Surabaya Nomor 19 Tahun 2012. Namun, aroma kontroversi tak pernah benar-benar hilang dari lembaga konservasi legendaris ini.

2. Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Solo: Dari Taman Sriwedari ke Solo Safari

Kisah serupa terjadi di Solo. Cikal bakalnya dimulai pada 17 Juli 1901 saat Sri Susuhunan Pakubuwono X mendirikan kebun binatang di kawasan Taman Sriwedari. Pada 1976, koleksi hewan dipindahkan ke kawasan Taman Jurug dan dibuka kembali dengan nama Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).

Namun, setelah revitalisasi besar-besaran, nama TSTJ berubah menjadi Solo Safari pada 2022/2023.
Alih pengelolaan ini memunculkan dinamika baru. Sejumlah pihak lokal mulai mempertanyakan transparansi pengelolaan aset serta dampak sosial ekonomi terhadap warga sekitar.
Perselisihan yang muncul dalam pengelolaan Solo Safari kini menjadi cermin dari pola penguasaan yang serupa: proyek konservasi yang berubah menjadi bisnis wisata berorientasi profit.

3. Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo): Dari Warisan Kolonial ke Arena Hukum

Kebun Binatang Bandung berdiri pada 1930 dengan nama Bandung Zoological Park (BZP), dipelopori oleh Hoogland, direktur Dennis Bank.
Pendirian ini disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 12 April 1933 (Keputusan No. 32).
Pasca kemerdekaan, pengelolaan sempat terbengkalai, hingga pada 1957, atas prakarsa Raden Ema Bratakusumah, BZP dibubarkan dan digantikan oleh Yayasan Marga Satwa Tamansari (YMST).

Baca juga:  Kontroversi Penutupan Bandung Zoo dan Kasus Lembang Zoo: Saat Negara Abai pada Konservasi Satwa lol

Pada 2003, Bandung Zoo memperoleh izin resmi sebagai Lembaga Konservasi Ex-Situ dari Kementerian Kehutanan (SK No. 357/Kpts-II/2003), berlaku 30 tahun. Bahkan, pada 2011, lembaga ini meraih predikat “B” dari Dirjen PHKA.

Namun, badai besar datang pada 2017.
Raden Romly Bratakusumah, putra pendiri yayasan dan Wakil Ketua PKBSI, menggandeng Tony Sumampau (TSI) serta istrinya, Sri Dewi, dalam pengelolaan Bandung Zoo dengan surat kuasa penuh.
Enam bulan kemudian, Romly meninggal dunia — dan sejak itulah kabut konflik hukum mulai menutupi Bandung Zoo.

Pada 2025, konflik kepemilikan antara Raden Bisma Bratakusumah (putra Romly) dan John Sumampau (putra Tony Sumampau) berujung ke pengadilan.
Bisma dan ibunya, Sri Dewi, divonis 7 tahun penjara atas tuduhan korupsi terkait sewa lahan Pemkot Bandung yang digunakan oleh Yayasan Marga Satwa Tamansari.

Kasus ini memunculkan pertanyaan serius:
apakah konflik tersebut murni perdata, ataukah ada motif ekonomi dan kepentingan yang lebih luas di baliknya?

Banyak pihak menilai, keterlibatan sejumlah instansi — termasuk Pemkot Bandung, BPN Kota Bandung, dan pihak swasta tertentu — perlu diaudit secara terbuka oleh lembaga independen, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi III, dan Komisi IV DPR RI.

4. Satwa sebagai Komoditas: Fakta yang Mengguncang

Data perdagangan internasional menunjukkan nilai fantastis satwa Indonesia di pasar global:

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) bisa mencapai US$5.500 (sekitar Rp90 juta).

Baca juga:  Praktisi Hukum Theodorik Gultom Nilai Aksi Demo Mahasiswa Ke KPK Miskin Kajian Dan Diduga Terjebak Politisasi

Kakatua Jambul Oranye (Cacatua citrinocristata) senilai US$8.000 (sekitar Rp132 juta).

Komodo (Varanus komodoensis) bahkan bisa menembus US$1 juta (sekitar Rp16,5 miliar).

Pada 2009, media luar negeri mencatat pengiriman bekantan (Nasalis larvatus) ke Jepang, dan pada 2019, empat gajah sumatra (Elephas maximus) “dipinjam” oleh lembaga di Australia melalui program konservasi.

Padahal, menurut undang-undang, seluruh satwa liar di Indonesia adalah milik negara.
Pertanyaan mendasar pun muncul: sejauh mana pemerintah mengawasi perpindahan, peminjaman, dan distribusi satwa-satwa ini?

5. Seruan Moral dan Tanggung Jawab Negara

Kisah runtuhnya tiga kebun binatang tertua di Indonesia bukan sekadar masalah manajemen atau konflik internal, melainkan potret lemahnya tata kelola konservasi nasional.
Pemerintah pusat dan daerah, bersama lembaga pengawas seperti KPK, seyogianya meninjau kembali seluruh izin, mekanisme pemindahan satwa, serta pola hubungan antara lembaga konservasi swasta dan pemerintah.

Ketika Prof. Mahfud MD menyerukan pentingnya keterbukaan dalam proyek nasional seperti Kereta Cepat Whoosh, semangat yang sama seharusnya berlaku pula dalam pengawasan terhadap aset-aset negara yang hidup — satwa-satwa yang menjadi bagian dari warisan hayati Indonesia.