Renungan Sumpah Pemuda: Kembali ke Jati Diri Nusantara

Avatar photo

Porosmedia.com – Masih ada sebagian dari kita yang gemar mencibir bangsanya sendiri. Ada yang lebih bangga menyebut “Konoha” daripada Nusantara. Ada pula yang menertawakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), seolah tak memahami makna strategis di baliknya.
Padahal, di balik proyek besar itu tersimpan upaya panjang bangsa ini untuk menemukan kembali jati diri sejarahnya sendiri.

Apakah mereka tahu makna “collateral asset” — aset peradaban yang diwariskan para leluhur dan dijaga dengan darah serta pengorbanan berabad-abad lamanya?
Mungkin tidak. Karena sebagian dari kita telah lama tercerabut dari akar sejarahnya.

Seandainya Ikrar Itu Berbunyi: Kami Putra dan Putri Nusantara…

Bayangkan seandainya Ikrar Sumpah Pemuda yang diucapkan pada 28 Oktober 1928 itu berbunyi:

“Kami putra dan putri Nusantara, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Nusantara.
Kami putra dan putri Nusantara, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Nusantara.
Kami putra dan putri Nusantara, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Nusantara.”

Mungkin sejak awal kemerdekaan, bangsa ini telah berdiri tegak sebagai Negara Nusantara — sejahtera, mandiri, dan berdaulat penuh atas aset leluhurnya.

Baca juga:  Kawasan Bebas Sampah: Solusi Strategis Penanganan Sampah di Kota Bandung

Namun, sejarah berkata lain.
Kita terlahir di bawah bayang kolonialisme panjang, di mana sistem ekonomi dan identitas budaya bangsa kita perlahan dikaburkan oleh kekuatan asing — termasuk melalui skema perbankan kolonial yang masuk ke Nusantara sejak abad ke-19.

Dari Nusantara ke Indonesia: Sebuah Transisi Identitas

Sejak 1885, sejumlah lembaga keuangan asing telah beroperasi di tanah air.
Bersamaan dengan itu, muncul istilah baru: “Indonesia” — nama yang berasal dari gabungan kata Indus (Hindia) dan nesia (kepulauan).
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh James Richardson Logan dan George Windsor Earl, dua intelektual asal Britania Raya.

Di sisi lain, sejarah mencatat bahwa bangsa Anglo-Saxon (Inggris) kerap menamai wilayah-wilayah yang mereka temui dengan label “Hindia” — dari Hindustan di Asia Selatan, hingga Indian di Amerika.
Istilah itu bukan sekadar penamaan geografis, tetapi juga mencerminkan cara pandang kolonial terhadap bangsa-bangsa yang dianggap “tak dikenal” dan perlu diklasifikasi di bawah definisi mereka sendiri.

Dengan demikian, muncul dugaan bahwa penggunaan istilah “Indonesia” bukanlah tanpa motif — melainkan bagian dari upaya pengelompokan dan penyeragaman identitas yang berdampak panjang terhadap kesadaran sejarah bangsa ini.

Baca juga:  Pangdam III/Slw Jamin Keamanan Kunker Presiden

Bangkitnya Kesadaran Global

Kini, kesadaran akan pentingnya identitas asli mulai tumbuh kembali di berbagai belahan dunia.
Penduduk asli Amerika tak lagi ingin disebut “Indian” — mereka menegaskan jati dirinya sebagai Native American.
India pun mulai menegaskan identitas aslinya sebagai Bharat.
Dan di negeri ini, semangat kebangkitan Nusantara mulai menyala kembali melalui berbagai gerakan kebudayaan dan pembangunan, termasuk lewat penamaan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Bagi sebagian kalangan, pembangunan IKN bukan hanya proyek infrastruktur, melainkan simbol kembalinya kesadaran jati diri bangsa — sebuah langkah strategis untuk melepaskan diri dari bayang kolonialisme, baik secara ekonomi maupun psikologis.

Cermin untuk Diri Sendiri

Ironisnya, justru di tengah semangat kebangkitan ini, masih ada sebagian dari kita yang menertawakan, bahkan merendahkan.
Mereka mencibir bangsanya sendiri dengan istilah asing, atau berharap IKN gagal berdiri.
Padahal, yang sedang diperjuangkan bukan hanya sebuah kota, melainkan simbol kedaulatan dan harga diri bangsa.

Kita sering lupa bahwa kebesaran sebuah bangsa tidak diukur dari siapa yang menjajahnya, tetapi dari sejauh mana ia mampu bangkit kembali dengan kehormatan dan kesadarannya sendiri.

Baca juga:  CNN Indonesia, Kebebasan Pers, dan Ancaman Proxy Asing

Penutup: Mengingat Ikrar Itu Kembali

Renungan ini adalah refleksi pribadi di Hari Sumpah Pemuda.
Bagi siapa pun yang masih mencintai negeri ini, marilah kita kembali pada akar identitas sejati kita — Nusantara.
Bukan sekadar nama, melainkan ruh peradaban dan kedaulatan yang telah melahirkan bangsa besar ini jauh sebelum istilah “Indonesia” muncul di peta dunia.

Ah, seandainya ikrar itu dahulu berbunyi:

“Kami Putra dan Putri Nusantara…”

Mungkin sejak lama kita telah memahami makna sesungguhnya dari persatuan, kejayaan, dan harga diri bangsa.

 

Porosmedia.com
Menyalakan Nalar Bangsa, Menjaga Akal Sehat Publik