Oleh: Sutoyo A
20 Agustus 2022
Kebijakan yang Menyimpang dan Akar Masalah
Porosmedia.com – Kerusakan institusi kepolisian tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia berawal dari kebijakan politik yang menempatkan Polri langsung di bawah Presiden melalui Perpres No.54 Tahun 2022 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kebijakan ini dinilai memberi ruang yang terlalu luas bagi Polri, hingga muncul kesan sebagai “super body” yang kewenangannya melampaui batas. Secara hierarki peraturan, perpres tidak bisa menyalahi undang-undang. Namun faktanya, keluarnya Perpres No.54/2022 justru memperkuat dominasi Polri, bahkan pada bidang yang secara hukum merupakan kewenangan TNI.
Akibatnya, terjadi pergeseran fungsi: Polri dipersepsikan bukan lagi sekadar penegak hukum, penjaga kamtibmas, serta pelayan masyarakat—melainkan alat kekuasaan yang sulit dikontrol.
Potensi Abuse of Power dan Politisasi
Ketika Polri diposisikan terlalu dekat dengan pusat kekuasaan, risiko abuse of power menjadi tak terhindarkan. Dalam praktiknya, Polri kerap diduga masuk ke ranah politik, mengawal kepentingan kekuasaan, bahkan ditempatkan di berbagai institusi negara yang seharusnya bebas dari intervensi aparat kepolisian.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya serius: apakah kepolisian masih bekerja sepenuhnya untuk rakyat, atau lebih condong melayani kepentingan politik penguasa?
Tumpang Tindih dengan TNI
Undang-Undang No.34 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan tugas pokok TNI, seperti menangani terorisme, separatisme, pengamanan objek vital strategis, hingga pengamanan wilayah perbatasan. Namun, sebagian fungsi ini justru ikut dijalankan oleh Polri.
Kondisi ini tidak hanya memicu tumpang tindih, tetapi juga berpotensi melemahkan TNI dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya. Hubungan TNI-Polri yang seharusnya sinergis, malah tampak timpang karena Polri diberi ruang yang terlalu besar.
Kasus Sambo: Simbol Pembusukan Sistemik
Kasus Ferdy Sambo pada 2022 menjadi titik balik yang membuka mata publik. Skandal tersebut memperlihatkan bagaimana pembusukan internal Polri sudah sangat serius. Publik tidak lagi melihat kasus itu sekadar kriminal biasa, melainkan refleksi dari lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas di tubuh kepolisian.
Kasus Sambo hanyalah puncak gunung es. Indikasi keterlibatan oknum polisi dalam praktik kriminal, kedekatan dengan oligarki, hingga dugaan keberpihakan pada kepentingan tertentu, memperlihatkan perlunya reformasi menyeluruh.
Jalan Reformasi: Back to Zero
Jika kondisi ini dibiarkan, Polri berpotensi menjadi “malapetaka negara”. Jalan keluar yang mendesak adalah reformasi total kepolisian, bukan sekadar tambal sulam.
Ada dua langkah strategis:
1. Membatalkan Perpres No.54 Tahun 2022 dan mengembalikan pengaturan Polri sesuai hierarki hukum yang benar.
2. Mengembalikan peran Polri ke tupoksi dasarnya, sebagaimana tercantum dalam UU No.2 Tahun 2002, yaitu:
Penegakan hukum,
Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
Melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat.
Seruan untuk Masa Depan
Bangsa ini berdiri di atas prinsip negara hukum. Maka setiap lembaga, termasuk Polri, wajib tunduk pada konstitusi dan undang-undang. Reformasi kepolisian bukan sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak agar demokrasi dan negara hukum tetap tegak.
Polri harus kembali menjadi milik rakyat, bekerja untuk rakyat, dan bukan alat penguasa. Jika tidak, risiko kegaduhan sosial, pelemahan demokrasi, dan krisis legitimasi hukum akan terus menghantui republik ini.
Police Reform Now.
Kembalikan Polri ke jalur konstitusi, sebelum terlambat.
0







