Porosmedia.com — Pada masa Perang Jawa (1825-1830), ada sosok perempuan yang menjadi panglima dalam pasukan Perang Diponegoro bernama Raden Ayu Yudokusumo. Sosoknya begitu garang dan ditakuti oleh pasukan Belanda.
Residen Yogyakarta, Frans Gerhardus Vlack (1831-1841) mengungkapkan kekagumannya kepada pasukan Pangeran Diponegoro. Dirinya memberikan sorotan khusus kepada istri-istri pembesar Jawa yang membuat kerusakan cukup parah.
“Di antara perempuan yang sangat mampu bertindak kejam itu, Vlack menyebutkan dua nama secara khusus: Raden Ayu Yudokusumo dan Raden Ayu Serang.” jelas Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII – XIX.
Raden Ayu Yudokusumo adalah putri dari Sultan Hamengkubuwana I dengan salah satu selirnya yang bernama Raden Ayu Srenggoro. Dirinya lalu menikah dengan Raden Tumenggung Wirosari yang memerintah di daerah Grobogan-Wirosari.
Setelah perjanjian Giyanti, dia sempat menolak untuk pindah dari daerah Grobogan-Wirosari karena penolakan rakyat saat Inggris ingin mencaplok tanah. Tetapi, dia akhirnya harus pindah ketika diperintah oleh Sultan Hamengkubuwono II.
“Perpindahan Raden Ayu Yudokusumo dilakukannya secara mandiri, ia mengurus segala keperluannya untuk berpindah karena sang suami yang kurang tanggap dan kurang peduli,” ucap Carey.
Sejarawan asal Belanda ini menjelaskan sosok Raden Ayu ini adalah sosok yang tegas dan menakutkan.Sikap garang dari Raden Ayu ini dicatat dalam serangannya kepada komunitas Tionghoa di tepi Bengawan Solo. Carey menjelaskan kebencian Raden Ayu ini karena peran orang Tionghoa yang menjadi penguasa gerbang cukai yang menindas masyarakat Jawa.
Raden Ayu tidak hanya menjadi otak penyusun strategi pembantaian etnis Tionghoa di Ngawi, dia juga turun sebagai seorang panglima perang. Karena aksi ini membuat Raden Ayu mendapatkan gelar kehormatan. “Aksi di Ngawi itu membuat gelar pejuang yang garang. Seorang perempuan cerdas namun sangat menakutkan,” papar Carey.
Raden Ayu tercatat sebagai satu dari beberapa panglima kavaleri senior Diponegoro di mancanegara timur, dan kelak bergabung dengan ipar Sang Pangeran, Raden Tumenggung Sosrodilogo, di Jipang-Rajegwesi pada 1827-1828.
Perjuangan Raden Ayu memunculkan semangat kaum perempuan lain mengangkat senjata. Di Ngawi dan pos cukai terdekat di Kudur Brubuh, Bengawan Solo seorang perempuan Jawa Tionghoa berperan penting membentuk pasukan keamanan.
Para perempuan lain di desa-desa sekitar Yogyakarta juga dilaporkan menyiapkan bubuk mesiu. Bahkan perempuan-perempuan ini juga membawa barang berharga ke medan perang dengan mengenakan seragam tempur seperti halnya kaum pria.
“Ketika menyerah pada bulan 1828 dicatat bahwa dia bersama sisa keluarganya yang lain mencukur habis rambutnya sebagai tanda kesetiaannya pada perang suci,” jelas Carey.
CC: Sejarah Cirebon