Porosmedia.com, Bandung – Pernyataan Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, yang menyebut bahwa persoalan utama sampah di Kota Bandung bukan terletak pada teknologi melainkan pada rendahnya partisipasi masyarakat, memantik respons beragam dari warga, pemerhati lingkungan, hingga aktivis kebijakan publik, di salah satu group WA Pemkot Bandung, Sabtu, 15 September 2025.
Dalam pernyataannya, Farhan menilai bahwa dari 1.597 RW di Kota Bandung, baru sekitar 400 RW yang konsisten menjalankan pengelolaan sampah berbasis lingkungan seperti Kang Pisman dan Buruan Sae. Ia menegaskan bahwa beban Kota Bandung akan berkurang apabila 30% sampah dapat terselesaikan di tingkat RW, khususnya sampah organik.
Namun, beberapa warga dan pemerhati kebijakan publik menilai pernyataan tersebut berpotensi menimbulkan kesan bahwa beban permasalahan justru diarahkan kepada masyarakat, sementara tata kelola struktural dinilai masih memiliki banyak pekerjaan rumah.
Sejumlah warga menyampaikan bahwa mereka selama ini telah membayar pajak dan retribusi sampah, sehingga pemerintah daerah dinilai memiliki tanggung jawab penuh memastikan pengelolaan berjalan sesuai standar pelayanan publik.
Seorang warga menilai wajar jika masyarakat mempertanyakan efektivitas pengelolaan anggaran lingkungan hidup. “APBD untuk DLH termasuk yang terbesar. Warga bayar pajak, warga bayar retribusi. Pertanyaannya, dananya digunakan untuk apa?” ujar salah satu anggota forum RW.
Respons lain menyoroti bahwa kritik masyarakat tidak bisa dianggap sebagai penolakan terhadap kedisiplinan, melainkan bentuk keprihatinan terhadap sistem yang dinilai belum berjalan optimal.
Aktivis lingkungan dan Pendidikan Rahmin, menyatakan bahwa persoalan sampah tidak bisa dipandang semata-mata sebagai isu partisipasi masyarakat. Menurutnya, persoalan ini bersifat struktural dan membutuhkan intervensi sistemik.
“Pernyataan bahwa masyarakat kurang berpartisipasi terdengar logis di permukaan, tetapi terlalu menyederhanakan kondisi di lapangan. Keterbatasan fasilitas pemilahan, armada pengangkut terpisah, hingga kurangnya kader lingkungan adalah realitas yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Rahmin menambahkan bahwa kota-kota besar saat ini telah mengadopsi teknologi pengelolaan sampah modern, mulai dari pengolahan organik, digitalisasi bank sampah, hingga model daur ulang terdesentralisasi. “Bandung masih berkutat pada retorika, sementara infrastrukturnya belum merata,” katanya.
Beberapa warga juga menyinggung isu dugaan mismanajemen di masa lalu dalam sektor persampahan, seperti dugaan manipulasi tonase, ketidakefisienan distribusi armada, hingga perubahan struktur organisasi dari PD Kebersihan ke DLH yang dinilai belum tuntas secara sistem tata kelola.
Meski demikian, seluruh komentar publik tersebut tetap menekankan pentingnya pembenahan menyeluruh tanpa mengarahkan tudingan personal kepada pihak tertentu. Warga meminta agar Pemerintah Kota Bandung memperkuat transparansi, audit internal, dan pengawasan publik terhadap sektor persampahan.
Seruan Perbaikan Sistem, Bukan Sekadar Imbauan
Para pemerhati berharap pemerintah kota mengambil langkah konkret dengan: memperluas fasilitas pemilahan sampah di setiap RW, memastikan armada pengangkut terpisah berjalan konsisten, memperkuat edukasi dan insentif bagi masyarakat,
serta membuka ruang dialog rutin dengan warga dan organisasi masyarakat. “Jika pemerintah sungguh serius, maka yang dibutuhkan bukan sekadar imbauan, tetapi keberanian politik untuk menata ulang sistem persampahan dari hulu ke hilir,” ujar Rahmin.
Hingga berita ini diterbitkan, Pemerintah Kota Bandung belum memberikan tanggapan lanjutan terkait berbagai respons masyarakat atas pernyataan Wali Kota.







