Porosmedia.com, Kab. Pangandaran – Dugaan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tiket wisata di Kabupaten Pangandaran kembali menuai sorotan. Kasus yang sempat mencuat lewat penangkapan seorang petugas tiket beberapa bulan lalu kini seperti kehilangan arah. Alih-alih menunjukkan perkembangan berarti, penanganan kasus justru terkesan berhenti di jalan buntu.
Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute sekaligus penggerak Forum Diskusi Masyarakat Pangandaran (Fokus Mapan), menilai stagnasi kasus ini mencerminkan lemahnya komitmen politik dan institusi daerah.
“Kami sudah dua kali beraudiensi dengan Kapolres Pangandaran, menemui pimpinan partai besar seperti Golkar, Gerindra, PKB, dan PKS untuk mendorong terbentuknya Pansus di DPRD. Awalnya mereka lantang, tapi belakangan suara itu senyap ditelan waktu,” tegas Tedi.
Upaya serupa juga dilakukan melalui audiensi dengan Bupati Pangandaran. Namun, pertemuan hanya diterima oleh perwakilan Inspektorat tanpa jawaban tegas. “Responsnya sama saja: jalan buntu. Bahkan di DPRD pun kasus ini seperti membentur tembok tebal,” tambahnya.
Persoalan tiket wisata ini bukan sekadar perkara teknis. Kebocoran PAD berimplikasi langsung pada kesehatan fiskal daerah. Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Disparbud 2023, sektor retribusi objek wisata Pangandaran menyumbang Rp29,38 miliar. Jika 10% saja tidak tercatat, kerugian daerah bisa mencapai Rp2,93 miliar; bila kebocoran 20%, nilainya membengkak hingga Rp5,87 miliar.
“Kalau PAD bocor, pemerintah daerah jelas abai pada fiskalnya. Akibatnya, defisit APBD menekan pembangunan, pelayanan publik, hingga kesejahteraan masyarakat. Ini yang pernah disebut mantan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sebagai kondisi kabupaten setengah sekarat,” terang Tedi.
Agus Chepy Kurniadi, pengamat kebijakan publik, menekankan perlunya audit forensik terhadap alur transaksi tiket. Menurutnya, mandegnya kasus ini justru memperkuat kecurigaan publik adanya intervensi di balik lambannya proses hukum.
“Setiap rupiah dari sektor wisata harus jelas. Audit forensik mutlak dilakukan dengan rekonsiliasi data antara jumlah tiket yang dicetak, data mesin EDC, dan uang yang masuk ke kas daerah. Hasilnya harus dipublikasikan agar publik bisa ikut mengawasi,” kata Agus.
Tedi sependapat. Baginya, kunci persoalan bukan hanya nominal uang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. “Jika ada pelanggaran, ungkap secara terang benderang. Jika tidak, jelaskan ke publik secara terbuka. Jangan sampai seolah ditutup-tutupi,” ujarnya.
Tedi mengingatkan, Pangandaran tidak bisa menutup mata dari potensi konflik sosial. Ia menyinggung kerusuhan di beberapa daerah yang lahir dari sumbatan komunikasi politik, lemahnya penegakan hukum, dan akumulasi kekecewaan publik.
“Kasus tiket ini seharusnya jadi momentum pembelajaran. Jangan menunggu konflik baru bergerak. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan DPRD harus membuka ruang komunikasi politik serta bertindak tegas agar kepercayaan publik tidak habis,” tegasnya.
Kasus dugaan pemalsuan tiket dan penggunaan mesin EDC ilegal jelas bukan sekadar isu lokal. Reputasi Pangandaran sebagai destinasi wisata nasional ikut dipertaruhkan. Sejumlah media sebelumnya menyoroti praktik dugaan tiket palsu yang membuat PAD jauh dari potensi riil, namun hingga kini penanganan tetap stagnan.
“APH jangan hanya diam. Hukum jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pangandaran tidak boleh kehilangan momentum untuk berbenah,” pungkas Tedi.







